Anna memerhatikan suaminya yang tengah asyik makan. Melihat suaminya mengiris daging tanpa berbicara apapun tiba-tiba membuat hatinya gerah.
"Fer," rajuk dia.
Sang suami menoleh, "Kenapa?"
Anna justru memberikan tatapan tajam, seakan memberi sinyal bahwa dia sedang kesal.
"Jangan ribet gini ah, mau pulang aja?"
Suaminya ngelantur, dia yang minta ditemani ke Serpha kenapa bersikeras pulang.
"Ada waktu enggak sih besok?" Anna bertanya, tiba-tiba dia ingin pergi ke suatu tempat.
"Bel, besok ada meeting, penting. Sudah ketemu sama teman kamu?"
Gadis yang bernama lengkap Annabella mencebik mendengar jawaban suaminya. Avenue restoran ini sama sekali tidak membuat dirinya lebih terhibur. Satu-satunya yang membuatnya terhibur hanyalah anak. Anak yang belum pernah dia punya.
"Kamu kan janji, akan konsultasi disetiap kota yang kita datangi."
Istri pengusaha properti mulai memasang wajah pias. Suaminya meletakan peralatan makannya.
"Percuma." sahut sang suami.
"Bahkan demi aku? Kamu enggak mau coba lagi?"
"Bella, kita sudah cek semuanya. Tidak ada yang bermasalah semua hanya perkara waktu, kuncinya sabar."
Annabella menengadahkan kepala, tidak ingin menangis lagi. Bagaiaman caranya agar hatinya sedingin lelaki yang menjadi suaminya ini.
"Kamu engak tahu perasaan aku," seloroh dia.
"Habisin makan kamu, aku duluan naik ke kamar."
Suaminya mengusap sejenak kepalanya sebelum meningalkannya.
Anna tidak meneruskan acara menangisnya, dia beranjak menyusul suaminya, hingga mereka bersisian mengantre lift.
"Aku capek Bel." alasan itu yang dia ajukan ketika istrinya terang-terangan menatapnya nyalak.
Sang istri hanya diam, hinga mereka sama-sama memasuki kamar hotel mereka. TV dinyalakan oleh suami, supaya terdengar melodi di perang dingin mereka, kemudian dia hilang di kamar mandi.
Sekarang saatnya, acara menangis yang tertunda tadi dilanjutkan oleh Anna.
Kenapa dirinya belum punya anak juga?
Mertua yang merongrong terus-terusan tentu mengganggu pikirannya, mengusik batinnya sebagai perempuan. Tidak satu kalipun, mertuanya tidak bertanya tentang keberadaan calon cucunya yang sudah lima tahun ini dinantikan.
Setiap rekan kerjanya dulu juga kerap menayakan hal yang sama, relasi bisnis juga sama. Yang lebih miris lagi, adik iparnya yang baru menikah genap setahun sedang merayakan acara tujuh bulanan bayinya. Dunia seakan menghujatnya. Apa dosanya?
"Aku keluar dulu." sang suami berpamitan setelah selesai mandi.
"Mau ke mana?" kejar Annabella. Suaminya terdiam, berdiri disamping pintu.
"Aku janji tidak pulang pagi," ucap dia.
"Ke Club?"
Suaminya masih diam, kini dia menatap istrinya yang masih lengjkap dengan sisa sisa airmata.
"Ikut?" tawarnya
"Ferdi, kamu mau pergi ke club, sementara istrimu menangis?"
"Aku tidak akan mencari hiburan kalau kamu bersikap baik. Jangan membuat aku semakin stress."
Alasan suami biadab yang bagus.
"Kamu selingkuh?"
"Annabella!" teriak suaminya mengingatkan.
"Aku cuma tanya, kamu selalu begini. Setiap aku menangis, kamu pasti pergi."
"Aku sudah bilang, kalau kamu menyenangkan, aku juga bersikap baik."
"Bersikap baik mana yang kamu maksud? Mendiamkan aku dan bekerja seharian? Fer, lima tahun yang lalu, kamu mau berlutut setiap kali aku marah. Sekarang aku menangis Fer, paling tidak kamu bisa berpura-pura simpati."
Ini adalah realita, apa yang dilakukan seorang pria dengan status pacar tidak menjamin akan dilakukan ketika statusnya suami. Intinya, jangan percaya pada drama.
"Baik, aku tidak jadi pergi. Cukup?"
Ferdi mulai menanggalkan pakaiannya, menggantinya dengan kaos oblong dan celana pendek. Dia meraih malas gawai yang ditaruhnya diatas nakas, lalu mengabaikan Annabella yang masih termangu, tidak puas.
"Bukan ini yang aku mau."
Perempuan itu merajuk lagi. Dia menggeleng lemah, memilih berbaring kembali tepat disebelah sang suami, tanpa berkata apa-apa lagi. Salahnya, berharap banyak padahal seharusnya dia tahu, semua mustahil. Sia-sia. Percuma.
Tidak ada yang tahu isi kepala Ferdi, suaminya. Istri yang tidak menarik lagi. Istri yang mengecewakan. Istri yang mandul.
"Bahkan kamu masih tetap diam."
Annabella memilih mengalah, dia kini berbalik, meraih suaminya yang serius menatap ponselnya sendiri.
"Sayang ... "
Anna mulai merangkul dan memeluk lengan suaminya. Tapi sang suami tak banyak bereaksi. Tidak ada yang tahu isi kepala Ferdi, kecuali dirinya sendiri.
Carut marut perusahaan, rasa penat dan kesal, istri yang sekarang dirasa memuakkan.
Annabella benar. Ini tidak seperti lima tahun yang lalu, saat dia dengan yakin memutuskan semuanya, untuk menikahi Annabella, perempuan yang sekarang disisinya.
Ternyata benar, gampang bosan adalah tabiatnya.
"Sayang ..." panggil Anna, sekali lagi.
"Bell, aku capek," jawab Ferdi, dingin.
Anna tetap diam, dia membiarkan tangannya memeluk suaminya lebih erat. Siapa yang melarang? Ferdi suaminya. Ini bukan tindak asusila, benar 'kan?
Tapi lain dengan Ferdi, ia menganggap ini semua risih. Tidak perlu.
Hai Ferdi lima tahun lalu, kemana dirimu?
Ferdi menghela nafas berat, menatap istrinya. Kenapa wanita selalu berpikir dirinyalah yang paling menderita?
Lantas ketika buah hati tak kunjung ada itu bukan hal yang dipikirkan suami juga.
Kalian bercanda? Dicibir dari segala pejuru, karyawan, sesama rekan, hingga sanak saudara. Peluru demi peluru seakan ditebarkan berupa gunjingan yang masuk dalam gendang telinganya, menyakiti harga dirinya.
Ferdi, lima tahun berumah tangga, belum ada hasilnya juga.
Rongrongan istri kian hari kian menjadi, daripada menabahkan diri keduanya, justru yang dilakukan hanya membuat kisruh semata.
Mulai dari mengekorinya tiap kali keluar kota, mendatangi satu per satu ahli ginekologi tanpa henti, hingga mendengarkan petuah gila seperti ke dukun saja, dipaksakan kepadanya.
Ferdi gila. Hingga dia hanya bisa diam saja.
Tapi ini harus berakhir.
Ini yang terakhir.
"Bella." panggil dia tegas.
Sang istri yang daritadi diam, menengadah, merasa akan dihibur, maka dia semringah.
"Iya, sayang."
"Jangan begini lagi, aku tidak pergi, tidak perduli apakah anak kita lahir 10 tahun lagi, atau tidak sama sekali. Aku tidak peduli."
Annabella mengerjap sejenak. Apa yang dibahas sekarang?
"Tidak perduli?" Jawab ia gamang.
"Bella..." kali ini suami berujar lebih lembut.
Dia lupa. Dia lupa satu hal ini.
"Kamu tidak perduli, karena aku yang mandul disini!"
Dan selesai. Annabella meraih baju dengan tergesa. Kemudian pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIDE TO SIDE
RomanceAku, Sidna Minara. Bukan Janda, karena aku tidak pernah menikah. Bukan Nona, karena aku sudah punya anak. Semua baik-baik saja, kalau hari itu, anakku, tidak bertemu dengam boneka kutukan bernama Annabella!