Uluran Tangan

117 15 11
                                    

Aku memijit kepala, pening ini tidak hilang juga sejak lama.

"Kamu mau apa? Menghindar lagi?"

Aku bungkam. Buat apa menjelaskan. Dia pasti tidak mengerti. Mana bisa dia menyelami perasaan ibu muda yang takut kehilangan anaknya. Darah dagingnya yang sudah diperjuangkan antara hidup dan mati.

Karena masing-masing jadi diam, ku biarkan saja mas Arka sibuk berkutat dengan ponselnya. Menggulir layarnya untuk mencari sesuatu. Entahlah, sedang bercakap via whatsapp dengan pengacaranya mungkin?

Lima menit bergulir, angin merajai suasana yang kemudian angkuh membelai wajahku dan mas Arka yang masih tetap seperti tadi. Memandang ponselnya dengan serius.

Tiba-tiba bahunya menegak. Dia memincingkan matanya, lalu menatapku seolah aku adalah orang bodoh yang tidak mengerti bahwa bilangan apapun yang dikalikan nol hasilnya adalah nol.

Jangan salah ya, aku Cumlaude.

Aku bersabar, keperhatikan balik wajah dari kakak tingkat yang teramat rupawan ini. Untuk usia 32th dia bisa ku sebut sangat matang.

Hingga awan awan andai bergelayutan mengelilingi kepalaku. Aku segera menepisnya. Tidak. Berhenti. Aku sadar, aku boleh saja Cumlaude, tapi pada praktiknya aku mungkin saja nol besar. Seperti hari ini, aku kembali meminta bantuan mas Arka lagi.

"Kamu–"

Aku masih sabar, baru hendak bicara dia menggulir lagi layar gawainya. Kemudian memasang wajah seolah semua taruhannya benar dan dia adalah pemenang tunggal.

"Sid, kali ini kamu harus jujur, kamu tidak suka bocah ingusan itu kan? "

Astaga! Satu jam bercengkrama dan isi kepalanya hanya hal maha penting seperti itu? Dia ini sedang ketularan Kalya ya? Malam-malam begini malah jadi emosi.

Alih-alih menjawab pertanyaan tak bermutu, gantian aku yang menggulir layar ponselku. Akan ku cari apapun, apapun termasuk video prank sampah milik bocah gengster atau video joget dengan urat malu putus maksimal pada layar gawai ini. Bahkan skema terjun bebas saham UNVR juga tidak apa-apa, asal tidak ku dapati wajah penuh ketololan dihadapanku ini.

"Serius, prediksiku, badut model dia itu tahan lama lho Sid."

Aish!!! Kenapa lagi sih?!

Cukup Kalya yang memuntahkan fakta kalau Abram itu mendekati sempurna. Aku tentu saja sangat sadar bahwa ini semacam to good to be true dalam hidupku.

Masalahnya adalah, aku tidak mau. Sudah itu saja, dan lagi, sejak sejam yang lalu, bukan ini yang aku bicarakan. Tidak ada satu katapun aku menyebut Abram.

"Lalu, maumu apa Sid?"

Akhirnya, pria yang ku harap jadi juru solusi justru mendidihkan kepalaku.

Lah? Malah tanya. Aku dari tadi cerita kan untuk mendengar solusi keluar dari mulutnya, bukan malah ditanyai balik seperti ini.

"Mas–" Aku bersiap protes.

"Tidak mungkin kamu pindah kerja. Tidak ada jalan untuk kabur. Bagaimana dengan Rendra? Kalya?"

Rendra bisa pindah sekolah dan Kalya punya banyak teman selain aku. Lihat saja, sepulang dari sini pasti dia nongkrong lagi.

Baginya aku hanya teman teraman karena Mamanya hanya mempercayaiku dan menurutnya aku bukan makhluk penjilat yang menukar pujian dengan traktiran. Yah. Kita semua tahu, Keluarga Kalya dan kerajaan bisnisnya.

"Sid, ayo menikah."

Wah! Gila! Sejak dulu Arka memang tidak waras, tapi solusinya kali ini betul-betul mencerminkan kepribadiannya yang amburadul.

Kesabaranku dalam menghadapi mas Arka sempat diberi 10 jempol oleh Kalya, biasanya leluconnya sangat indah dan membuatku tertawa nyaring, karena Kalya lah bahan candaannya. Tapi kali ini tidak. Pura-pura saja tidak mungkin. Alih-alih tertawa, wajahku justru kaku.

Dia ini benar-benar tidak kondusif, ya?

"Mas!" Sambil memasang wajah galak yang memang sudah terpasang dari tadi, aku menegurnya.

"Emang kamu nunggu dilamar badut kesiangan itu?"

Mas Arka ini bicara apasih, antara aku dan Abram tidak ada apa-apa. Memang ada kemungkinan dia menyukaiku. Namun dimataku, Abram tidak akan sejauh itu. Dia masih bujang, pantasnya mendapatkan perawan. Aku betul 'kan?

"Sembarangan aja kalo ngomong, mas ini ngerti enggak sih, aku sama Abram ya cuman rekan kerja. Udah."

Aku mengulangi kata kata yang sudah sering ku beritahukan kepada orang-orang yang kerap menanyai apa gerangan hubunganku dan Abram.

Hanya karena mereka melihat Abram kerap wara-wiri di kantor sambil mentraktirku kopi.

Sepele sekali kan?

"Jujur aja, dibanding aku, bocah ingusan itu lebih gigih. Sayangnya Sid, aku, kekayaanku, dan koneksiku jauh lebih tinggi."

Ya, makanya aku meminta tolong untuk mencarikanku pekerjaan baru, identitas baru, intinya aku tidak mau disini lagi, aku mau aman bersama anakku. Bagian mana yang tidak ia mengerti? 

"Makanya, mas, aku minta--"

"Kamu pikir aku Nick Furry? Atau kamu merasa kamu itu Black Widow yang gampang kemana mana?"

Sialan, kalau aku Black Widow, aku tidak mungkin punya Rendra. Natasha Romanoff kan histerektomi. 

"Aku dan pernikahan kan musuh bebuyutan," 

"Sidna, ini jalan keluarnya. Pikir saja, Annabella itu mandul kan."

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang