Aku sedang sibuk dengan data dan angka saat Kalya menelfonku. Ini panggilan ke lima yang ku abaikan. Isinya selalu sama. Mengingatkanku agar tidak lupa jadwal selipan yang genting ini.
Aku janji menemaninya ke mall. Betul, kalian tidak salah baca. Ke Mall! Bukan ke dokter kandungan. Seperti ramalanku kemarin, setelah melantai dan teler dia akan kembali ke rumahku lewat dini hari. Tepat setelah aku selesai mandi dan menjemur baju dari mesin cuci.
Tepat! Karena dia muntah di bajuku setelah aku baru keluar dari kamar mandi 10menit sbelumnya.
Pagi ini karena dia masih pengar dan dia tergeletak di ruang tamu, ku katakan pada Rendra kalau Tante Kalya sedang sakit, jadi aku meminta dia lekas bersiap sekolah saja dan mengabaikan saja wanita yang masih tidak sadar tadi.
Sebelum berangkat kerja dan mengantarkan Rendra aku berpesan kepada mbok Jah untuk mengurusi Kalya. Ah, sebetulnya itu tidak perlu karena mbok Jah sudah tidak sekali dua kali melakukan ini.
Aku melirik ponselku yang bergetar lagi. Kali ini nomor tanpa nama. Aku mengangkatnya, kuatir ini klienku yang belum ku simpan nomornya. Dan betul saja, baru saja ku ucapkan halo terdengar keluhan dari sebrang sana. Curhatan yang lebar tentang dana pendidikan anak dan jangan lupa inflasi tiap tahunnya, memasuki telingaku.
Gawat! Ini sepertinya lama, sementara aku yakin Kalya pasti marah besar kalau aku membatalkan rencanyanya. Tidak ada pilihan lain, aku menelfon sambil mengemudi. Terimakasih kepada tekhnologi bernama bluetooth cukup satu tombol maka terbebaslah aku dari ponsel yang menempel ditelinga.
Ocehan klienku selesai saat aku sampai di play ground Rendra. Ini terlalu cepat lima menit dari waktu yang seharusnya. Tidak apa, daripada sahabatku mengomel.
Aku segera turun melihat sosok Rendra.
"Hi boy. Senang?" sapaku. Dia membawa plastisin, aku kurang yakin itu bentuk apa. Bisa saja bulan atau matahari. Bagiku itu terlihat seperti cilok.
"Lihat anggur punya Rendra." ucap dia semangat.
Oh ternyata anggur! Masuk akal, warnanya ungu.
"Anggur? Satu anggur?" jelasku. sambil menggenggamnya, menyongsongnya ke mobil kami.
"Iya. Buat bunda. Rendra tadi makan buah anggur, karena sudah habis Rendra buat dari plastisin, buat bunda."
Aku tertawa. Anakku lucu juga.
"Terimakasih ya, kamu suka anggur? Bunda mau nemani Mom--" ups aku kelepasan.
Anakku tertawa geli mendengarku nyaris menyebut kata 'Mommy'.
Sejak kemarin memang sudah ku bahas dengan anakku bahwa pemanggilan Mommy kepada Kalya ditiadakan. Sekarang tingal bagianku, bagaiamana cara megatakannya kepada Kalya tanpa membuat tersinggung. Menurutku, Kalya agak baperan orangnya, jadi, ini agak sulit.
"Bunda mau nemani tante Kalya belanja. Kamu mau ikut atau pulang dulu sama Mbok Jah?" aku segera meralat ucapanku.
"Ikut aja Bunda, nanti kalau Tante KAl pingsan lagi biar adaRendra yang bantu bunda."
Aku tersenyum, tapi kemudian teringat sesuatu lagi, "Tapi, tidak beli gundam ya." Aku mengingatkan. Rendra sudah terlalu anyak beli gundam, dia harus belajar berhemat.
Anakku menoleh, dia terlihat kecewa, "Lihat saja boleh kan Bunda?"
Aku mengangguk, tentu saja boleh, asal jangan mengejar badut Oppo.
"Rendra janji enggak lari sama badut lagi." aku terkekeh kali ini, ajaib juga ya anakku, tahu saja isi hatiku.
"Rendra boleh kok lari ngejar badut, tapi bilang Bunda dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SIDE TO SIDE
RomanceAku, Sidna Minara. Bukan Janda, karena aku tidak pernah menikah. Bukan Nona, karena aku sudah punya anak. Semua baik-baik saja, kalau hari itu, anakku, tidak bertemu dengam boneka kutukan bernama Annabella!