Happy New Year teman teman...
.
.
.Dijauhkan dari Huru Hara.
Aamiin...
...
Aku membuka pintu kulkas, memasukan semua sayur mayur yang ku beli. Lalu ku tenteng semua jajanan pasar ke depan.
Abram dan Rendra sedang disana.
Yang satu serius menghadapi laptopnya dan yang satu asyik naik sepeda diantara bunga-bunga.
"Enggak capek main sepeda terus?"
Aku berkomentar, mulai bosan melihat anakku berputar-putar.
"Enggak bunda. Ini buat Rendra aja ya?"
Sepedaku dulu masih awet, Papa menyimpannya dengan baik di gudang. Sepeda anak-anak, beroda empat yang ku kendarai sampai aku umur delapan tahun.
Masa lalu yang mengerikan. Yang lain sudah pakai sepeda roda dua, aku masih kolot dan PD dengan sepeda roda empatku.
Yah, namanya juga masa lalu, selalu buruk untuk di kenang.
"Memangnya Bunda masih muat naik sepeda itu? Udah sini dulu, makan jajan. Masa enggak capek?"
Kali ini Abram yang bersuara.
Dia tampak sedikit menua dengan suara berat dan kemeja lusuh punya Papa dulu.
"Tapi seru Om... Nanti sore jalan-jalan lagi yuk, main sepeda. Boleh ya?"
Baru dua hari disini Rendra sudah banjir teman. Kalau di Batavia masih pusing dengan virus corona beda dengan Kaukasia. Mereka bahkan menganggap corona itu hanya bercanda. Disini semha bebas keluar masuk toko kelontong dan wira wiri di pasar.
Melihat update terbaru teman-teman banyak pembatasan dimana-mana.
Aku melihat melalui ponsel Abram tentunya.
Betul. Kalian betul.
Aku masih Sidna yang dulu, pengecut dan suka lari dari masalah.
Memangnya kenapa? Asal aku masih bersama Rendra tidak apa-apa kan?
"Sid. Kok melamun? Udah report kan?"
Aku mengangguk kecil. Sebenarnya agak capek juga, disini mana ada Mbok Yem. Semua aku yang lakukan. Berat ya? Pagi sudah memasak, siang masak lagi, sore juga masak. Belum cucian yang menumpuk. Setrikaan.
Hufft...
"Capek ya? Jalan-jalan yuk."
Aku melirik sebal. Kenapa sih, Abram dan idenya yang brilian itu kadang menarik?
"Enggak ah. Males."
Aku berbohong.
Aku mau aja jalan-jalan, tapi bukan sama dia.
"Yaudah..."
Hah? Yaudah? Cuma Yaudah?
"Apaan sih!"
"Lho kalau enggak mau yaudah, aku sama Ren aja kalo gitu."
"Kamu tuh... Lagi ada virus corona juga enggak ada kuatir-kuatirnya. Jangan diajak jalan terus dong!"
Entah kenapa aku jadi sebal. Kenapa Rendra jadi menempel terus sama Abram?
"Kamu kok kesel?"
"Enggak!"
Enak aja nuduh! Siapa yang kesel sih? Aku cuman... Cuman... Apa sih yang kurasakan sekarang?
"Kalya nelpon aku kemarin, nanyain kamu dimana."
Aku sudah tau, karena aku terus-terusan tidak menjawab telfonnya dan mas Arka, dia kelimpungan.
Aku bahkan memblokirnya di ponsel pribadiku.
"Terus?"
Aku bertanya, penasaran. Kalya itu sahabatku, meski recet dikit.
"Aku enggak jawab. Bingung. Memangnya kamu sama Kalya kenapa sih?"
Giliranku yang diam.
Aku dan Kalya seharusnya tidak ada apa-apa. Sejauh ini dia memang baik, ya meskipun dia agak reject begitu.
"Sid... Kok diem?"
"Memangnya mau komentar apa?"
"Kalian berantem kenapa?"
"Kenapa aku harus cerita ke kamu?"
Aku defensif dan ku dengar helaan napas Abram, "Katanya mau jadi koperatif seminggu ini, kalau dianalogikan untung rugi aku belum dapat apa-apa lho Sid."
Malasnya punya teman kepinteran ya begini. Ada saja yang dianalogikan dan dibahas. Dia cari, dia runtut, sampai ketemu, seperti selisih di setiap laporan akuntansi.
"Memangnya mau apa sih? Kalya? Kami teman satu kampus. Aku, Kalya, dan Mas Arka. Dulu sering bareng. Kalya sering dugem dan aku sering ditelfon suruh jemput, pokoknya ya begitulah."
"Tapi dia tidak terlalu senang sama Arka?"
"Senang atau tidak tergantung suasananya juga. Selama menurut Kalya tidak berbahaya buat dirinya artinya menyenangkan."
Kemudian Abram terbahak, "Lucu ya."
Aku menoleh mendengar dia tertawa. Lucunya dimana?
"Kalian tidak terlihat seperti berantem."
"Memang bukan, aku yang menjaga jarak. Kalya baik, kaya, punya semuanya, aku hilang dunianya akan tetap baik-baik saja."
"Tapi... Dia bahkan mencari alamat rumahmu di sini. Aku dengar dari teman yang masih di kantor. Dia kehilangan kamu lho Sid."
Aku menyugar rambut, entahlah, aku juga tidak tau apa yang ku lakukan akhir-akhir ini.
Aku sebenarnya sedang apa?
Ku bawa kabur Rendra, ku musuhi Kalya, ku goda pula Abram.
Aku ini, kenapa?
"Entahlah. Aku—"
"Memangnya hanya kenangan buruk saja yang diberikan Kalya? Kenangan baik tidak ada?"
Abram bertanya, seperti menuntut.
Bagus.
Aku jadi sadar, kalau aku memang sedang di guncang emosi.
"Aku—, Hhh—"
"Bagaimana kalau... Satu ranjang semalaman dengan kamu, aku ganti cerita sampai kelelahan?"
Aku tertawa.
Abram... Abram...
Dasar Brondong dimabuk cinta!
KAMU SEDANG MEMBACA
SIDE TO SIDE
RomansaAku, Sidna Minara. Bukan Janda, karena aku tidak pernah menikah. Bukan Nona, karena aku sudah punya anak. Semua baik-baik saja, kalau hari itu, anakku, tidak bertemu dengam boneka kutukan bernama Annabella!