Jangan Menangis Sidna.

126 13 5
                                    

Terima kasih, silahakan menuju ruang tunggu.

Apa-apaan ini, katanya VVIP???
Lalu kenapa si bodoh Kalya masih memencet mesin di dekat loket untuk dapat tiket?

"Kamu bilang VVIP," aku mengingatkannya. Malas menunggu lama-lama.

"Lo yang VVIP, gw mah harus antre,"

"Ck, tinggal telfon kan beres."

Aku mulai merogoh saku, ingin ku maki tapi sahabatku sendiri. Tidak ku maki tapi aku jengkel setengah mati.

Tidak bisa ya dia datang menemui dr Otto dengan suaminya saja?

"Adrian keluar kota lagi, gila ya istri lagi sakit masih cabut juga,"

Meskipun itu terdengar seperti mengeluh, yakin saja, dia sama sekali tidak mengeluh ekspresinya bertolak belakang.

Intip ponselnya kalau tidak percaya. Segudang janji sudah mengantri. Bar dan Caffe siap menampung ibu Kalya yang sangat kaya raya.

"Kamu mau kemana nanti malam?"

Aku penasaran, dia dari tadi cengengesan menatap ponselnya.

Demi Semesta, Kalya sebenarnya tidak akan sudi duduk mengantre, menunggu dengan khidmat seperti ini.

Tidak. Pasti ada sesuatu.

Kalau mau, dia bisa beli rumah sakit ini.

"Tebak." Dia menjawab singkat, sok rahasia.

Aku menghela napas malas, paling juga dengan gengnya.

Tanpa berkata apa-apa aku kembali melihat ponselku lagi.

Gila, ihsg turun lagi. Serok saham apa ya?

"Sidna."

Kan, dia akan memanggilku kalau aku mengabaikannya.

Tapi suara ini bukan milik Kalya. Aku melihat Kalya yang masih anteng dan cengar cengir melihat ponselnya.

"Kal, kamu manggil aku?"

Aku bertanya pelan. Sosialita muda ini malah menoleh bingung.

"Kalya, Sidna. Mau bertemu dokter Otto juga?"

Hm. Setan lagi.

"Hai sis..."

Kalya sableng, dia terlalu euforia sampai membalas sapaan Annabella dengan ceria.

Mungkin dia belum sadar siapa  ikut duduk sebelah kiriku.

"Lo jadi sama suami?"

Tidak. Anggap aku buta, aku melihat Kalya dengan ramah bertanya kepada Annabella.

Mabukkah dia?

"Iya, lagi didepan beli minum buat kita."

Wait, buat kita.

Oh i see, Kalya sahabat sejatiku sedang pdkt dengan Annabella atau sebaliknya.

Hatiku jadi jengkel tiba-tiba.

"Kamu janjian kontrol dengan Anna?" Aku bertanya langsung dihadapan mereka berdua.

Kalya masih dengan senyumnya mengangguk.

"Sesama pejuang dua garis biru," timpal Anna.

Keduanya ceria, hanya aku yang bermuram durja.

"Aku ke kamar mandi dulu,"

Daripada pusing, lebih baik mencuci muka.

Aku berjalan lurus sambil menatap ponselku melihat harga saham miring yang berpotensi cuan.

Sambil membaca wassap grup kantor aku terus berjalan.

Rumah sakit ini bagaimana sih, jauh banget kamar kecilnya.

Langkahku terhenti karena sebotol minuman tiba-tiba menggelinding dekat kakiku.

"Maaf pak, anak saya tidak sengaja,"

Sayup-sayup terdengar suara penyesalan seorang ibu. Tanpa pikir panjang aku memungut botolnya, aku menghampiri bapak, ibu, dan anaknya yang bergerombol tidak jauh didekatku.

"Ini." Ku angsurkan botol minuman itu kepada pria yang berdiri memeluk botol minuman lain.

"Sid--na,"

Aku mendengar namaku dieja terbata.

Aku mendongak.

Jangan dia. Dipejuru dunia ini aku hanya berharap tidak bertemu dia.

Tanpa menunggu waktu lagi, aku putar haluan lagi.

Tidak. Tidak.

Aku tidak mau bertemu dia lagi. Aku tidak sudi melihat dia lagi.

Tidak.

Jangan menangis Sidna.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang