Welcome Back

46 4 0
                                    

Sudah seminggu, sejak semua rusuh dalam hidupku tumpah.

Aku menatap anakku sekali lagi.

"Benar tidak menyesal? Kita tidak bisa ke mall sering-sering, tidak bertemu tante Kal, Om Abram, bahkan Bibi juga tidak ada."

Akhir-akhir ini dia tantrum tidak mau ditinggal kemana-mana. Tidak nyaman, begitu katanya.

Merengek terus menerus untuk kembali ke Kaukasia.

"Apa sih yang Rendra mau?" aku bertanya lembut. Ku tatap netranya yang penuh harap agar aku segera menuruti inginnya. Keluar dari kota menjemukan ini dan kembali ke desa kecil nan indah.

"Rendra mau Bunda tidak nangis lagi. Kerja kan capek. Bunda tidak usah beli gundam lagi. Uang bunda buat beli makan saja. Rendra tidak nakal lagi, tidak usah ke mall lagi, tidak akan ikut sama siapapun lagi. Rendra cuman mau berdua sama Bunda."

Aku tersenyum perih. Kata dr. Otto, mungkin Rendra syok. Aku perlu membawanya ke spesialis untuk diperiksa lebih lanjut.

"Tapi- bunda ingin sama Om Abram ya?" anakku bertanya pelan, seperti takut?

Aku menyerngit heran. Apa yang anakku pikirkan dan apa ekspresi takut itu?

Apa Abram pernah berbuat kasar pada anakku?

"Tidak begitu, bunda kan kerjanya disini. Tapi, bunda lebih penasaran kenapa kamu bilang Bunda ingin sama Om Abram?"

"Karena Bunda senang terus sama Om Abram, sama Tante Kal bunda cuma diam."

Ganti aku yang terdiam.

Anak umur 4th ini seolah mengataiku. Seolah dia bilang aku senang sama Abram?!

What the-

"Bunda biasa aja. Sama Daddy juga ketawa terus malah." aku mengelak.

Entah kenapa aku menjadi amat sangat tidak terima. Padahal yang mengatakannya itu Rendra. Putraku. Harusnya aku tidak jadi seperti ini. Memangnya aku bocah belum dewasa yang terpengaruh ucapan anak kecil seperti Rendra?

"Dahi bunda."

Dahi? Dahiku. Memangnya kenapa?

Aku ambil ponselku untuk melihat pantulan wajahku.

"Dahi bunda gak papa kok." Ucapku.

"Dahi bunda jarang berkerut kalau dengan Om Abram. Berarti bunda tidak marah. Kalau dengan Tante Kal pasti berkerut terus."

Aku termangu sejenak, segera saja ku gelitiki anakku ini.

"Kamu ini mengamati dahi bunda sebegitunya? Kamu kalau sudah besar mau jadi Pakar mikro ekspresi ya?"

Rendra terbahak dan berguling-guling di kasur empuk di kamar tamu Abram ini.

Yap betul. Aku masih di rumah Abram.
Entah kenapa aku juga malas pulang, lagi pula, di sini rasanya lebih aman dan nyam- dan tidak ada nyamuk. Yup. Itu maksudku. Aku benci nyamuk. Nyamuk bikin gatal. Itulah kenapa aku memilih menginap disini beberapa hari lagi?

Lagipula yang punya tempat juga tidak mengusir. Jadi, kenapa tidak? Ini upaya untuk meminimalisir anggar. Tau tidak?

***

Sementara Rendra masih tidur siang, aku menimang semua keputusan.

Sebentar lagi pukul dua. Kalya bilang, dia akan ikut kemari setelah Abram beres bertemu klien.

Aku harus siapkan apa ya?
Ocha dan Kopi hitam? Apa perlu ku bereskan ruang tamu? Tapi aku kan bukan babu.

Tapi kamu menumpang secara gratis disini Sidna.

Ya baiklah, mari sejenak berbalas budi, menyiapkan cemilan dan berbenah sebentar tidak membuat kecantikanku luntur kan?

Sudah kutata semua sudut hingga ku ganti sprei kamar utama yang ku tempati, Rendra bangun hendak mandi karena kamar tamunya terpisah. Dia melewatiku, memelukku sebentar.

"Bunda, jangan pergi kemana-mana ya."

Aku menghela napas sebentar. Menciumnya.

"Iya, sana mandi, nanti kita bilang ke Om Abram dan Tante Kal, kalo kita mau pindah."

***


SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang