Théquill

97 14 2
                                    

Gawaiku sampai bosan dipencet berulang ulang. Layar touchscreennya seakan remuk, jempolku yang kuat ini tidak pernah ragu menekannya lebih keras.

Tuhan... Cobaan apa lagi sih ini?

"Emang kamu enggak tau dimana rumah dia?" Aku berteriak.

Ya, tentu saja aku harus berteriak. Gerald sedang bergoyang disamping meja ini tanpa dosa.

Lelaki ini tidak berubah, selalu saja, menelfonku karena ada orang mabuk dan menyuruhku mengantarnya pulang.

Aku ini konsultan, bukan Ibu kurir?!

Hhh... Harus disebut apa memangnya?

Mengirim 'paket' dengan selamat sampai rumah berarti kan kurir.

"Kan temen kalian," sahut dia cuek.

Aku ingin menjerit lagi. Enak aja. Siapa yang berteman dengan Annabella.

Ya Gusti... Masih pusing aku dengan huru hara dunia, sudah Kau tambah saja masalah baru.

Aku menatap Annabella yang masih setengah sadar, dia mengguman tidak jelas.

Ku perhatikan wajah ayunya yang pucat.

Katanya mau hamil, tapi malah mabuk-mabukan.

Dia terpengaruh sama Kalya ya?

Ah, iya. Gerald menelfonku dan bilang kalau temanku mabuk.

Yes, im in trap.

Aku kira, yang mabuk adalah Kalya.

Yang ku lakukan sedari tadi adalah menelfon sahabatku sendiri karena otakku buntu.

Aku tidak tau harus apa.

Seperti biasa, kalo dibutuhkan Kalya memang tidak pernah kelihatan.

Aku mendengus. Ini percobaan terakhir.
Kalau Kalya masih saja tidak mengangkat telfonku, aku tinggal saja Annabella.

Suaminya pasti cari dia kan?

Bipp... Bipp...

Bagus, dua dering lagi aku pulang...

Ku raih tasku, bersiap siap...

Mana kunci mobilku ya?

Bipp...

"Yes Sis..."

Batal. Ku letakkan kembali kunci mobilku.

"Temen lo nih!"

"Wah pakai lo-gw berarti lagi marah. Kenapa marah? Kan gw enggak salah apa apa..."

Kalya bertanya, bingung.

Aku juga bingung, makanya marah.

"Susul sini, di Théquill. Cepet ya,"

Buru-buru ku tutup telfon agar tidak ada pertanyaan lanjutan.

Nyusahin.

Kata itu menyeruak begitu saja saat ku lihat Annabella memandangku sebegitunya.

Shitt!!! Dia menyentuh wajahku, tepatnya bibirku.

"Sidna... Nanana."

Dia berguman tidak jelas.

"Gw juga mau kayak lo, punya temen loyal, suami baik, dan yang sangat gw pengin... Anak. Kenapa sih, lo yang bahkan hamil duluan punya banyak keberuntungan. Sedangkan gw?"

Aku mengedik. Jadi, dia sudah tau.

Yah... Terserah lah. Toh dia tidak sepenuhnya tau.

Mendengar racauannya aku jadi ingin pulang saja.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang