Kita Sudahi Saja

276 22 0
                                    

Pada sudut kamar mungil yang didalamnya berisi dua manusia yang saling bersitegang, dia dan aku.

"Maksudnya ini gimana?" aku bertanya gamang, bahkan dia belum memuji riasan wajahku malam ini.

Kami berdua baru saja pulang kerja, dan tolong jangan lupa, seminggu lagi aku wisuda. Siapa nanti yang akan datang kalau bukan dia?

"Sid,"

No! Kamu harus panggil aku sayang. Panggil aku cinta, seperti biasanya.

"Aku gak ngerti," aku menerobos penjelasannya.

Tidak. Dia hanya mabuk. Pasti hanya itu. Dia melantai bersama teman perempuannya dan pulang dalam keadaan mabuk.

Iya. Hanya itu.

"Sid." Dia mengusap bahuku, lalu melanjutkan kalimatnya, "Tapi ini semua memang terjadi, aku dan kamu sudah tidak bisa bersama lagi."

Aku menangis. Dia ini gila atau berhalusinasi, sih?

Ini ketiga kalinya dalam bulan ini.

Padahal... Padahal...

"Tapi..." aku menggigit bibir, berusaha mencari alasan.

Tapi apa? Sidna, ayo berpikir.

Katakan sesuatu walaupun itu omong kosong, seperti, tapi anakmu sudah mau lahir atau... entahlah, apapun yang menahan dia agar tidak pergi.

"Katakan, apa yang terjadi? Selama ini, sejauh ini, aku selalu mendengarkan kamu dan mengerti kamu."

Aku sedang memohon, persetan dengan harga diri. Dia melihatku, lalu tersenyum.

Masih sempat tersenyum, ya? Ini semua candaan 'kan? Iya, 'kan?

"Jangan bilang Kalya, ya. Bisa jadi dia meremukanku dalam satu jentikan jari saja."

Aku ingin tertawa, tapi pedih.

Ancaman ini memang sejak dulu selalu sama, kalau dia berani macam-macam denganku, aku akan mengadu pada Kalya.

Ternyata omong kosong yang satu ini, justru tidak bisa membuatku melakukan apa-apa.

Kalya, maaf.

"Kamu mau istirahat disini?"

Iya. Aku ingin tidur dengan kamu disini.

"Aku harus pergi?" Aku bertanya penuh nada tidak percaya.

"Terserah kamu, tapi kita gak bisa seranjang lagi."

Kalimatnya membuatku kehilangan denyut jantung.

Dia ini kenapa sih?

"Kamu habis dari mana, sih?" aku berusaha meraihnya, memeluknya.

Dia memang suka bercanda tapi ini ... ini tidak terlihat bercanda, dan, oh, ya Tuhan ... tatapan mata apa itu? Terganggu dengan ku? Tidak suka dipeluk aku?

"Sid, aku sudah berkali-kali mengatakan ini. Sudah tidak ada lagi. Aku sudah tidak cinta lagi."

Aku mengangguk, "Kamu pasti delusi. Kamu mau cari hiburan dulu? Aku bisa--"

"Sidna." Dia memaggilku, seperti lelah menasehati.

Aku juga lelah. Ok. Maksudku, kita berdua lelah, dia barangkali baru pulang dari perjalanan bisnisnya, dan aku baru saja datang dengan buru-buru, menyetir dengan membabi buta selama dua jam dan meninggalkan teman-temanku yang baru saja merayakan kelulusan kami, karena dia bilang ingin bertemu denganku, disini, dikontrakannya sendiri.

"Aku sudah pernah bilang dan kamu jawab kamu tahu risikonya. Kamu yang bersedia," lanjut dia sambil melepas cengkraman tanganku pada lengannya.

Aku diam. Aku kehabisan akal.

Hah! Aku lulus cumlaude kenapa tidak bisa membantah dia? Mengatakan bahwa kita itu saling mencintai dan apapun, bahkan seluruh dunia bisa kita hadapi. Aih, sejak kapan aku jadi pintar bersyair begini?

"Lalu kita berakhir hanya seperti ini?" aku bertanya kebingungan.

"Mau bagaimana lagi?" dia menjawab tanpa beban.

"Tapi kita..."

"Dulu, kita saling mencintai, sekarang, hm, sebetulnya sejak lama, aku sudah tidak mencintai kamu lagi."

Satu kata yang terlintas dipikiranku. Kejam.

Aku jadi teringat Kalya.

"Lagipula, Sid, kamu bisa mencari laki-laki lain lagi."

Aku mengerjapkan mataku, telingaku berdenging. Apa yang dikatakannya tadi?

"Maksudmu?" aku betulan tidak paham. Otak cemerlangku tiba-tiba ngadat.

"Kamu bisa mencari teman tidur lagi."

Kali ini aku paham, aku berdiri dan memungut tasku kembali.

Jelas saja aku marah, memangnya aku pelacur?

"Sid, jangan berlagak seperti orang suci. Waktu itu jelas-jelas bahwa--"

Aku menatapnya tajam, memberi isyarat agar dia diam. Memang, dia tidak salah berkomentar, memang betul waktu itu, malam itu ...

Ah tidak, aku ingin menangis kalau mengingat ini, kembali aku menatap matanya, lama, masih ku cari sisa sisa cinta yang barangkali tertinggal disudut mata indahnya. Tapi ternyata, memang sudah tidak ada.

"Cukup. Aku mengerti. Tidak ada kita lagi."


SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang