Abram dan Dua Anak TK

121 18 11
                                    

Sepanjang jalan tol Jagakarsa yang selalu macet membuatku kadang kelepasan mengumpat. Apalagi kalau didepan mobilku ada mobil rese yang hobi ngerem mendadak. Dikira ini arena bombomcar?

Sekarang, demi dewa yang katanya ada delapan. Aku menepi di rest area memeriksa bemperku yang menabrak mobil merah sialan yang ngerem mendadak tadi.

Katanya aku yang salah.

Aku yang salah? Dialah yang salah.

Aku melengos, menatap carut memanjang yang menghiasi mobilku. Mungkin ini mobil murah, tetap saja belinya pakai uang. Nyicil pula.

"Aku aja yang nyetir Sid,"

Aku menoleh tidak puas. Memangnya memampuan  menyetirku buruk?

"Kamu nyalahin aku? Mobil tadi tuh yang rem mendadak, masih untung enggak laka lantas tadi."

Aku nyolot. Tentu saja. Bemper mobilku jadi cacat begini.

"Kalo gitu—"

Aish, aku malas berdebat, ku tinggalkan saja dia, lalu aku beringsut duduk. Membiarkan dia dan Rendra membeli minum di minimarket ini.

"Rumah kita kapan selesai renovasinya Bun?"

Rendra anakku yang pintar dan superkritis menembakkan pertanyaan pertanyaan ajaibnya.

Aku kehabisan ide harus 'main cantik' seperti apalagi. Yang ku berikan hanya senyuman.

"Pengin di rumah? Emang di rumah ada apa?"

Abram ikut dalam perjalanan kali ini dan syukurlah, dia membantuku berperan dengan baik. Setidaknya di depan Rendra.

"Kalau tau mau liburan, Rendra kan ngasih makan ikan dulu Om, kalau mati gimana? Kata Bunda kalau mau memelihara sesuatu harus tanggung jawab. Rendra kan sudah janji mau beli ikan dan merawat ikan, Om."

Si kecil menjawab dengan lancar.

Tentu saja lancar karena tidak ada tipuan apa-apa. Beda denganku yang meski diam dari tadi, sebenarnya sibuk mengarang cerita.

"Wah kirain cuman punya gundam. Punya ikan juga? Namanya siapa?"

Bagus, ulur terus sampai aku punya kebohongan yang cantik untuk anakku. Semakin dipikir justru makin pusing.

Sudah terlanjur mengatakan rumah di renovasi dan kita bertiga akan liburan ke... Ke mana?

Tidak tahu.

Tidak mungkin ke Pappa Italia karena sejak virus sialan yang membuat ruang gerak terbatas itu mereka hanya menerima delivery order.

Tidak mungkin aku ke rumah karena Kalya dengan mudah menerobos masuk.
Sementara aku... Aku sedang letih dengan semua ini. Bisa tidak di pause dulu?

"Belum Ren kasih nama Om, yang bagus nama apa ya Bunda?"

Anakku menggoyangkan lenganku mencari perhatian.

Anak ini tampan seperti aku. Wajahnya sangat mirip denganku. Hidung mancungnya, alisnya bahkan persis seperti milikku.

Anak ini, punyaku. Darah dagingku.

Aku mengulurkan lenganku, meraih hartaku ini.

Tiba-tiba aku terisak, menangis, bulir bulir bening keluar sedikit.

Rendra yang tidak pernah melihatku menangis jadi panik.

"Bunda... R u ok?"

Aku tersenyum, memaksakan senyum tepatnya. Lalu mengangguk.

"Tapi Bunda nangis, katanya mau liburan? Rumahnya direnovasi karena rusak total terus Bunda sedih?"

Dia menatapku.

Benar sekali saat ku bilang alisnya sangat mirip denganku. Tapi bulu matanya tidak. Bulu mata Rendra 100% milik Papanya.

"Bunda— bangkrut nak."

Alih-alih lelah, aku memilih kata bangkrut.

Kalau kalian liat portofolioku juga kalian akan menangis lebih kencang. Minus 8%.
The fucking corona.

"Hah? Bunda miskin? Kita jadi miskin? Terus kenapa Bunda ngajak liburan? Ini nanti yang bayar siapa? Bunda mau liburan biar seneng? Tapi—"

Aku menyimak, tidak menyangka anakku sepanik ini. Dia lantas berlari ke arah mobil yang sebetulnya tidak terlalu jauh.

Lalu dengan tergopoh-gopoh kembali.

"Om Abram, lihat gundam punya Rendra," si kecil memerintah.

Aku dan Abram mengamati.

"Gundamnya bagus."

Abram memberi komentar.

"Nah, ini Rendra jual, Bunda bangkrut, tidak punya uang, miskin. Mau ya Om?"

Aku menahan tawa, gundam itu gundam pertama yang kubelikan, tentu saja yang paling jelek dan paling murah dari semua koleksi Rendra.

"Kenapa dijual? Kan punya Rendra, kesayangan Rendra kan itu?"

"Enggak papa Om, makanya karena kesayangan Rendra, ini dijual. Harganya mahal."

"Oh ya? Berapa?" Aku merebut pertanyaan yang mungkin seharusnya disebutkan Abram.

"7 Milyar," jawab anakku, mantap.

Aku tergelak. Gundam seratus ribu dijual lagi dengan harga 7 milyar. Lelucon apa ini?

"Tapi Ren, di online shop yang baru saja harganya tidak lebih dari 300 ribu."

Abram mulai menjelaskan.

"Tapi Om, ini hadiah dari Bunda karena Rendra tidak nangis waktu cabut gigi. Padahal cabut gigi itu harus berani lho Om. Terus, setiap hari Rendra pasti bersihkan gundam ini. Itu pakai tenaga, 7 milyar itu sebetulnya murah Om."

Murah gundulmu. Rendra tau 7 milyar mungkin karena dia menguping pembicaraanku dengan klien. Kemarin kan aku habis membicarakan protek senilai 7 milyar, dan aku berkali-kali mengatakan murah karena suatu hal.

"Setelah dapat 7 milyar terus Rendra mau apa?"

Abram menjawab sabar.

Aku melihatnya lurus, kesabarannya ini unlimited ya?

"Bantuin bunda, bunda bangkrut Om..."

Rendra terdengar lelah menasehati.

"Rendra, Bunda cuman capek. Kalau kita mungkin pindah ke pedesaan gimana?"

Aku bertanya serius.

Abram terlihat hendak bereaksi.

Sshhh!!! Diam saja ya kamu, kamu itu pria kebetulan lewat yang aku angkut sekalian biar tidak banyak bicara.

Abram memergokiku mengambil beberapa berkas dari kantor.

Who the fucking person at office in the weekend? Abram.

Si Sialan Abram bertanya kenapa aku masuk sambil bercucuran airmata, kami berdebat dan berakhir dia mengikutiku sampai rumah.

Jangan tanya mobilnya dimana. Tentu saja dia tinggal dikantor.

Lebih bodohnya lagi, dia ku ajak kabur seperti anak TK begini. Parah!

Sidna Minara bikin kacau semuanya.

"Kalau bunda seneng enggak papa."

That is Rendra.

Aku mengamati anakku.

"Kalau Rendra bahagia, bunda lebih bahagia. Karena buat bunda, kebahagiaan Rendra itu segalanya."

Rendra tertawa.
Yah... Anak umur 4th mana mungkin memahami filosofi bahagia.

"Ikut sama Bunda, ya?"

"Siap Bunda."

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang