Pasutri itu sampai di Incheon International Airport, bandara yang terletak 48 km dari kota Seoul. Bandara ini dinobatkan sebagai bandara terbesar, terbaik juga tersibuk. Bagaimana tidak, jika fasilitas yang disuguhkan tak main-main. Mulai dari lapangan golf, tempat ice skating, cassino, museum kebudayaan sampai pusat perbelanjaan ada disini. Namun gadis itu hanya mampu meremas lengan suaminya lantaran tak dapat menikmati fasilitas itu karena waktu yang singkat.
"Ada apa, hum?" tanya Erick Maximilian pada istrinya setelah masuk ke dalam taksi.
Dasha menatap bandara yang kian menjauh itu. "Aku sebenarnya ingin keliling bandara itu, Erick."
Erick tersenyum dan menarik istrinya dalam pelukannya. "Kita akan menikmati Seoul nanti. Besok aku harus bertemu kolega bisnis, jadi tidak bisa jalan-jalan hari ini."
Dasha mengangguk mengerti. Mereka dalam perjalanan menuju ibu kota negara ini. Dua hari Erick akan berurusan dengan bisnisnya. Namun setelah itu, ia akan mengajak Dasha mengelilingi kota Seoul. Ayahnya baik hati memberikan bonus perjalanan bisnis pada Erick. Namun konsekuensinya, Erick harus berangkat sendiri tanpa didampingi Fabio.
Mata Dasha berbinar saat mereka memasuki kota Seoul. Tak pernah bermimpi ia sampai disini. Meski dia putri seorang pebisnis sukses, pergi ke luar negeri tanpa alasan bukanlah cara hidup yang diajarkan padanya.
"Are you happy?"
Dasha mengangguk cepat. Keduanya menikmati pemandangan kota ini. Sampailah mereka di sebuah hotel yang lumayan mewah. Pria itu segera menggandeng tangan istrinya untuk melakukan check-in. Hari sudah sore dan mereka butuh istirahat.
"Kenapa Erick tidak memilih hotel berbintang-bintang?"
Erick terkekeh. "Untuk apa? Bukankah yang kita butuhkan hanya kamar yang nyaman untuk aarrgghh.."
Dasha memukul dada suaminya. Wajahnya memerah bahkan sampai ke telinganya. Hal itu membuat Erick tertawa geli. Lift berbunyi dan pintunya terbuka. Mereka berjalan menuju kamar yang telah dipesan. Kartu ditempelkan dan pintu terbuka. Lalu kartu itu diletakkan di slot yang menempel di dinding sehingga lampu otomatis menyala. Terpampanglah ranjang berukuran king size disana.
"Lumayan, kan?"
Dasha tersenyum dan mengangguk. Gadis itu pun berjalan mengitari kamar hotelnya. Terdapat AC, TV 40 inci, lampu tidur di atas headboard, sofa dan juga meja kecil di sudut kamar, nakas di samping ranjang, juga sebuah wardrobe yang besar. Dasha berjalan mendekati jendela dan ternyata terdapat balkon disana. Gadis itu membuka pintu dan berjalan di balkon. Ada dua kursi dan meja kecil disana. Kedua mata Dasha menangkap pemandangan kota dari sini.
"Let's take a shower, baby," desis Erick di ceruk lehernya.
Pasangan suami istri itu menikmati makan malamnya di restoran lantai dasar hotel. Erick meminta air hangat pada pelayan restoran untuk membuat susu ibu hamil dalam gelas yang dibawanya sendiri. Dasha tersipu malu saat pria itu menyodorkan segelas susunya. Setelah makan malam, mereka kembali ke kamar.
"Berarti besok aku seharian di hotel?" tanya Dasha pada suaminya yang sedang sibuk membuka laptop di sampingnya.
Pria itu mengangguk tanpa menolehkan kepalanya. Dasha menggembungkan kedua pipinya dan kembali fokus menatap layar televisi. Sudah habis satu film bioskop tapi suaminya itu masih saja mengenakan kacamata dan menatap layar laptopnya. Dasha pun menghela napas. Ia raih remot dan mematikan TV itu.
"Sudah selesai filmnya?"
Dasha mengangguk. "Iya. Aliennya sudah mati."
Erick pun melepas kacamatanya dan mematikan laptopnya. Ia letakkan kedua benda itu di atas nakas samping ranjang, lalu memeluk istrinya. Kepalanya ia tumpukan di pundak sang istri. Tangan besar Erick mengelus perut istrinya yang mulai terlihat sedikit membuncit. Pria itu tersenyum yang tentu saja mengundang senyum Dasha pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Naughty Dasha
Romance21+ Bijaklah dalam membaca! Terjerat dalam perjanjian konyol membuatnya mati-matian menerima kenyataan. ----- 📝 Aldiananh_