"Menghilang seenak jidat! Kau pikir kau CEO di perusahaanku, hah?! Dengar ya, Erick. Ay-"
"Dengarkan Erick dulu, Ayah! Please..."
Robert mengerutkan kening mendengar nada rendah beserta permohonan putranya. Tak biasanya Erick berbicara seperti itu padanya. Robert pun menghela napas.
"Okay. Katakan pada Ayah mengapa kau tiba-tiba kabur dari rapat?"
"Dasha meneleponku sambil menangis histeris. Sa-"
"Memangnya kenapa?!"
"Aku belum selesai bicara, Ayah!"
Robert mengedarkan pandangan lalu duduk di sofa. Pikirannya sangat parno jika menyangkut menantu kesayangannya itu. Dia begitu ketakutan jika sampai terjadi sesuatu pada Dasha melebihi putranya sendiri. Seakan-akan Erick lah yang menantu disini.
"Baiklah. Ayah tidak akan memotong lagi."
"Sampai sekarang aku belum tahu dia kenapa. Aku tidak mau memaksanya bicara. Sudah syukur dia bisa tidur sekarang," jelas Erick di seberang sana.
"Menurutmu, menantu Ayah kenapa?"
Terdengar suara helaan di seberang sana. Robert semakin mengernyit. Ia tegakkan kembali tubuhnya yang sempat bersandar sofa.
"Sepertinya ada yang melukainya, Ayah."
"Apa?!"
"Aku akan coba hubungi pihak apartemen."
Erick menoleh pada istrinya yang terlelap. Ia letakkan ponselnya di atas kabinet. Erick sangat yakin ada campur tangan orang lain yang menyebabkan Dasha seperti ini. Tidak mungkin gadis itu menggila hingga menghamburkan belanjaan dan menampar wajahnya sendiri.
"Erick..."
"Ya?"
Erick segera naik ke atas ranjang dan memeluk Dasha. Gadis itu membuka matanya dan menatapnya dengan penuh derita. Erick mencoba menarik senyum sembari tangannya mengelus rambut cokelat Dasha.
"Tidur lagi, ya? Aku besok ambil cuti."
Dasha mengangguk kecil dan membenamkan kepalanya di dada Erick.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kalimat itu terus terngiang di kepala Erick. Ia melirik ke jam dinding. Sudah pukul satu lewat empat puluh tiga menit dini hari dan Erick masih terjaga. Ia duduk di sofa balkon apartemennya dengan terus mengernyit kening.
"Apa Fabio masih sadar jam segini?"
Erick memutuskan untuk memanggil nomor sekretarisnya itu. Beberapa kali berdering, pemuda itu tak menonaktifkan ponselnya saat tidur. Baru saja Erick akan menekan ikon berwarna merah itu, suara disana menyahut.
"Ada apa, Sir?"
"Kupikir kau sudah tidur."
Suara tawa serak sarat akan bangun tidur itu menggelegar. "Saya memang sudah tidur. Tapi Anda membangunkan saya."
"Oh, okay. Sorry," katanya.
"No, no! Thats not what I mean. Maksud saya Anda kenapa menelepon dini hari seperti ini? Sudah punya istri juga."
Erick menghela napas panjang.
"Bisa kau hubungi manajer apartemenku? Mintakan rekaman CCTVnya."
"Why? Apa apartemen Anda kemalingan?"
"Sepertinya ada seseorang yang menemui Dasha."
"Oh. Yes, Sir!"
Erick menutup teleponnya. Ia kembali ke kamar. Kening Erick mengerut lantaran istrinya tak berada di posisinya tadi. Ia telusuri kamar sambil memanggil nama gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Naughty Dasha
Romance21+ Bijaklah dalam membaca! Terjerat dalam perjanjian konyol membuatnya mati-matian menerima kenyataan. ----- 📝 Aldiananh_