Meminta Izin

475 27 0
                                    

"Pak, maaf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pak, maaf ... bisa tolong cari jalan lain nggak, ya?" tanyaku pada super taksi dengan seragam biru muda itu. "Saya buru-buru soalnya."

"Baik, Mbak."

Kemacetan di ibukota memang sudah menjadi pemandangan yang lumrah bagiku, tetapi kali ini hal itu seperti membuatku ingin mengumpat rasanya. Lututku tidak bisa berhenti bergerak ke atas dan bawah, kedua tanganku pun bergetar. Untung saja aku menuruti usulan Stella untuk menaiki taksi dari pada menyetir sendiri, yang bisa saja berakibat fatal karena tidak bisa konsentrasi.

Ada sedikit rasa lega karena akhirnya aku tahu keberadaan Dion, meskipun aku masih tidak mengerti mengapa ia mendatangi rumah orang tuaku tanpa memberitahuku dulu.

Ketidaksukaan yang Adrian tujukan pada Dion sangatlah besar dan tidak masuk akal. Aku tahu Dion sudah sangat keterlaluan karena meninggalkanku dulu, tetapi itu sudah lama, Dion kembali dan kami bersama sekarang.

Tidak bisakah Adrian memahami itu?

Lima belas menit berlalu dan sampailah aku di depan rumah kedua orang tuaku. Detak jantung yang berpacu lebih cepat membuat perutku mual ketika memasuki halaman depan di mana mobil sedan putih milik Dion bersanding dengan SUV milik papa. Ini belum waktunya papa pulang kantor, datangnya Dion ke rumah orang tuaku sampai-sampai membuat papa membolos kerja hari ini.

Saat aku melangkah menuju pintu depan yang terbuka, di dalam kepalaku sudah ada beberapa teori yang akan terjadi. Terutama tentang reaksi Adrian. Bayangan Adrian dan Dion bertatap muka pun rasanya sudah seperti mimpi buruk. Ketika aku sudah ada di ruang tamu, langkah kakiku membuat tiga pasang mata menatapku secara bergantian. Perasaan campur aduk itu semakin menjadi ketika laki-laki yang memakai baju putih lusuh hanya duduk terdiam di samping mama.

Mama langsung menghampiri dan memeluk pundakku. "Jangan terbawa emosi dulu ya," bisiknya dengan lembut. Apa maksudnya?

Saat aku ingin mendekati Dion, tangan Adrian menahanku. "Berapa kali aku harus bilang hal yang sama ke kamu, hah?" tanyanya dengan kemarahan yang terdengar jelas. "Ternyata kamu bohong juga. Bahkan udah sejauh ini."

"Mas, lepasin aku!" gertakku. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku dan Adrian tidak saling bicara, kami pun baru bertemu lagi sekarang.

"Adrian cukup!" Mama bersuara dengan tegas, meski kedua matanya basah dengan air mata. "Biarin adik kamu duduk dulu, kita tanya baik-baik."

Aku menjauhkan diri dari Adrian dan memberinya tatapan tajam, lalu mama menuntunku untuk duduk di antara Dion dan dirinya. Betapa hancurnya hatiku ketika mendapati wajah milik Dion yang terlihat kacau. Sudut bibirnya memerah akibat luka kecil yang terbuka dan tulang pipinya pun melebam. Ini pasti ulah Adrian.

Saat aku ingin berdiri dan menghampiri Adrian, Dion mencegah dengan menahan lenganku. "Babe, just don't," bisiknya.

"Ini nggak bisa dibiarin, dia udah bikin kamu kayak gini," ucapku pada Dion. Lalu aku beralih menatap kakakku. "Kamu keterlaluan, Mas." Tak kuasa menahan emosi yang sedari tadi kurasakan, air mataku mengalir begitu saja.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang