Batu Kerikil

439 28 0
                                    

Rutinitasku sehari-hari tidak jauh-jauh dari layar laptop, pencil gambar, kertas putih, dan juga orang baru yang berkonsultasi tentang fesyen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rutinitasku sehari-hari tidak jauh-jauh dari layar laptop, pencil gambar, kertas putih, dan juga orang baru yang berkonsultasi tentang fesyen. Namun, kali ini setelah makan siang, aku memutuskan untuk pergi menuju ruang produksi di mana desain pakaian yang kubuat disulap menjadi nyata. Tentu saja setelah Stella pulang dari pertemuannya dengan kawan lamanya. Aku bertekad menyelesaikan permintaan Tante Anna untuk membuat baju rancangan Amanda, remaja yang tinggal di panti asuhan milik keluarga Mahardika.

Suara mesin jahit dan ketukan dari jam dinding terdengar lebih menggema ketika ruangan ini mulai sepi. Ditemani segelas jus mangga dan sepiring macaroon, aku duduk di depan mesin jahit yang ada di pojok ruangan. Menyatukan potongan-potongan kain yang sudah dibentuk menjadi bagian-bagian dari baju memanglah bukan hal yang asing bagiku. Meskipun demikian, sejujurnya aku jarang sekali terjun langsung untuk menjahit baju rancanganku. Dari awal aku mendirikan Louroose, aku sudah menyerahkan urusan jahit-menjahit kepada ahlinya. Namun, bukan berarti aku tidak bisa, sedari kecil nenekku sudah mengajarkan cara mengoprasikan mesin ini.

Beberapa karyawanku berinisiatif untuk membantu, tetapi aku sudah berniat ingin membuat baju-baju ini sendiri, mengingat ini adalah permintaan langsung dari Tante Anna. Bukankah aku akan merasa sangat bangga jika bisa menyelesaikan ini sendiri?

Waktu pun berjalan begitu cepat, menjelang sore hari ketika karyawan-karyawanku pulang, aku dikejutkan dengan kedatangan Dion. Masih memakai baju putih dengan garis-garis horizontal berwarna krem yang dimasukan ke dalam celana jin biru, serta sepatu hitam yang mengkilat, ia menyambangiku dengan senyuman.

"Kok nggak bilang mau ke sini?" tanyaku setelah menggunting benang lalu berdiri untuk menyambutnya.

Sebuah kecupan manis dan pelukan hangat yang kurindukan, ia berikan untukku. "I missed you," ucapnya lirih di sela-sela kecupannya. Ibu jarinya mengusap-usap rahang dan leherku, aku yakin ia bisa merasakan betapa senangnya aku berjumpa dengannya sekarang.

Aroma khas dirinya dan hangatnya wewangian yang ia pakai membuatku membawanya lebih mendekat. Tanganku menyusuri rambut tebalnya dan sedikit menariknya. "Hmmm, me too," balasku.

Dion mengeluarkan sedikit erangan akibat ulahku, berpura-pura merasa terganggu. Tangannya menggapai milikku agar menjauh dari kepalanya. "Ini bukan tempat yang pas buat main-main," ucapnya dengan embusan napas berat yang membuatku terkekeh.

Dion melepas pelukannya lalu duduk di sampingku. "Ngomong-ngomong, aku ke sini soalnya kamu seharian nggak bisa dihubungi. Ternyata kamu lagi ada di sini."

Aduh, ya ampun! Aku merasa sangat bersalah sudah menelantarkan ponselku seharian ini.

"Oh ya? Maaf, aku seharian nggak pegang handphone, sekarang aja kayaknya ada ruangan aku deh."

"It's okay. Tadi aku sempat ketemu sama Stella di depan, makanya aku tahu kamu ada di sini," ucap Dion.

Pasti Stella udah pulang sekarang. Dia tadi bilang kalau ada janji makan malam sama Niko.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang