Restu Dari Adrian

1K 49 5
                                    

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"... Benar, Pak, saya langsung tangan pertama kok. Pemiliknya saudara saya sendiri."

"Wah, cocok itu saya. Soalnya kalau banyak orang 'kan nanti saya juga bingung mau kasih komisinya. Kalau istri saya sih sudah cocok sama bentuk rumahnya."

"Bapak tidak usah khawatir soal komisi, nanti dilihat dulu aja rumahnya. Kapan ada waktu luang, tinggal hubungi saya aja, nanti saya antar ke sana," tawarku pada seorang pria yang ada di ujung telepon.

Ketika pintu elevator terbuka, seorang ibu muda dan anak gadisnya segera melangkah keluar, aku mengikuti di belakangnya dan berjalan menuju unit apartemenku. Dengan masih memegangi ponsel dengan tangan kiri, aku membuka tasku untuk mengambil kartu yang kugunakan untuk membuka pintu apartemen.

"Nanti saya tanya dulu sama anak saya ya, Mbak Stephanie. Soalnya yang mau tinggal di sana 'kan anak bungsu saya. Biar nanti kalau sudah pasti waktunya saya kabari lagi, tapi kemungkinan lusa sih," jelas pria yang berniat untuk melihat-lihat rumah milik Karina itu.

"Baik, Pak. Saya tunggu kabarnya."

Oke, berarti besok aku harus ketemu sama Karina. Ketemu Karina berarti ketemu juga sama Adrian. Aduh ….

Setelah basa-basi untuk menyudahi obrolan, aku segera membuka pintu apartemen dan berjalan masuk. Ruangan gelap menyambutku seperti biasa, kutaruh kunci mobil di atas meja kecil yang berada di dekat pintu dan membuka sepatu. Tubuh dan pikiran yang lelah membuat keinginan untuk segera membersihkan dan merebahkan diri di kasur semakin menjadi.

Dalam hati aku berterima kasih pada Dion, karenanya aku tidak perlu menyetir sendirian dari Louroose kemari, itu akan jauh lebih melelahkan. Berbicara soal Dion, setelah makan malam yang terbilang agak canggung setelah perdebatan kecil kami, ia mengantarku hingga parkiran di basement. Lalu ia pulang bersama supir pribadinya yang entah kapan mulai bekerja untuknya.

Dengan sedikit melakukan peregangan pada leher dan tangan, aku berjalan melewati ke arah ruang tamu yang mana lampu pada temaram pada meja menyala. Dari sini aku juga bisa mendengar suara air yang dituang. Suara itu terdengar jelas berasal dari dapur. Jantungku rasanya berdebar sangat kencang ketika mengantisipasi kemungkinan yang terjadi. Dengan berjalan mengendap-endap menuju dapur, aku mengarahkan hak sepatuku yang cukup untuk menjadi senjata ke depan. Sekujur tubuhku memaku ketika menemukan sesosok laki-laki yang berdiri memunggungiku dengan segelas air di tangan.

Kenapa dia ada di sini?

Memakai kaus putih tanpa lengan dan celana pendek hitam, sudah jelas itu menunjukan jika ia sudah lama berada di sini. Beberapa kali aku mencoba untuk membuka suara, tetapi di dalam kepalaku belum ditemukan kata-kata yang tepat. Sampai akhirnya, ia menoleh ke arahku dan sama-sama menunjukan wajah yang serupa, seperti tidak menyangka bisa bertemu di tempat ini.

Ia meletakkan gelas yang kini kosong di bak cuci, lalu menjilat bibirnya sebelum mulai berucap, "Aku nggak tahu kalau kamu bakalan pulang ke sini." Suaranya terdengar keras di apatemen yang sunyi ini, meski ia berbicara dengan pelan.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang