Dia Yang Kurindukan

2.4K 145 167
                                    

Sudah direvisi.

"Sayang, ada telepon buat kamu di bawah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sayang, ada telepon buat kamu di bawah."

"Astaga, Ma." Aku terperanjat dari tempat tidur karena saking kagetnya dengan suara mama yang tiba-tiba saja ada di kamarku. "Kalau anaknya jantungan gimana?"

Mama hanya tertawa mendengar mengeluh. "Masa gitu aja jantungan, kamu itu aneh. Habis kamu juga sih, dengerin musik kencang banget, sampai mama ketok-ketok pintu dari tadi nggak dijawab."

Dengan badan yang lunglai aku beranjak dari tempat tidur dan mengikat rambutku dengan asal lalu menekan tombol pause di layar ponselku untuk menghentikan John Mayer yang masih bernyanyi. "Siapa yang telepon?" tanyaku.

"Enggak tahu, kalau dari suaranya si cowok."

"Ma, kenapa enggak tanya siapa namanya? Siapa tahu dia mau cari properti kan," ucapku sedikit kesal.

"Orangnya ditanyain cuma diam aja, dia cuma bilang mau cari kamu," jelas mama.

"Ya udah deh aku cek dulu," kataku sebelum menuju lantai bawah untuk mencari tahu siapa yang meneleponku ke rumah malam-malam begini.

"Halo?"

Hanya hening yang kudengar diujung sana, walaupun sambungan masih terhubung tetapi orang yang meneleponku tidak mau berbicara.

"Halo, ini siapa ya?"

Okay, this is so creepy.

Saat masih tidak ada jawaban, dengan heran aku menutup teleponnya dan menuju ke kamarku lagi.

Masa masih ada orang yang iseng telepon malam-malam gini, buat apa coba? Kayak enggak ada kerjaan lain aja.

Jam menunjukan pukul delapan malam dan tugasku untuk menyelesaikan desain masih belum juga selesai. Hanya tinggal desain sepatu saja sebenarnya yang masih belum kuselesaikan dan lagi pula itu semua untuk edisi tahun depan, Wedding Collection.

Ya, tapi tahun depan itu tinggal enam bulan lagi.

"Ya, Tuhan." Aku menghela napas panjang.

Kadang aku suka tidak sadar berbicara sendiri, mengakibatkan adanya perdebatan antara aku dan diriku. Melakukan hal yang kita suka dan itu menghasilkan uang, memang menyenangkan. Namun, yang namanya manusia ada lelahnya juga. Bukan hanya badan yang lelah, tapi juga mental yang terkadang membuatku bingung sendiri.

Apalagi jika deadline-nya sudah mepet dan desain belum juga selesai gara-gara otak tidak mau kompromi.

It's been three days since I bumped into Randi and his cute daughter. Itu yang membuatku menjadi 'lemah' lagi. Sejak Dion meninggalkan Jogja pagi itu, aku pun dengan berat hati kembali ke Jakarta dengan membawa kekecewaan dan ratusan pertanyaan yang belum terjawab.

Bahkan aku tidak berpamitan dengan Stella maupun Randi kala itu. Stella tahu alasanku mengapa tiba-tiba pergi, setelah tiba di Jakarta dengan suara parau, aku pertama kalinya menangis saat bercerita dengan sahabatku sejak kecil itu tentang laki-laki. Untuk pertama kalinya juga, aku merasakan yang namanya patah hati.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang