Seseorang Yang Ku Kenal

4.7K 193 241
                                    

Edited

Ponsel jadul keluaran tahun 2015 itu tidak henti-hentinya bergetar di dalam tasku, seiring dengan banyaknya SMS yang masuk sejak tadi pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ponsel jadul keluaran tahun 2015 itu tidak henti-hentinya bergetar di dalam tasku, seiring dengan banyaknya SMS yang masuk sejak tadi pagi.

Paling ini dari Aldi, nanyain aku sudah sampai mana.

Aku melirik sejenak jam dinding digital besar berwarna hitam dengan angka berwarna merah yang menunjukan pukul 11:45, sudah sekitar 15 menit aku berdiri di antrian ini dengan bosan. Mataku beralih memandang kearah pria yang sudah berumur dengan setelan seragam PNS yang berdiri di depan meja teller dengan kantong plastik hitam di sampingnya itu, sudah hampir 10 menit sejak mbak-mbak teller dibalik counter itu berdiri sambil mengawasi mesin penghitung uang yang pria PNS itu bawa. Parahnya lagi hanya ada dua teller yang buka di jam seperti ini.

Kenapa setor uang ratusan juta mesti berbarengan denganku sih. Gerutuku dalam hati.

Aku menghela napas panjang, kuhitung lagi antrian yang tersisa di barisanku.  Masih tujuh orang yang tersisa, dan menyebalkannya lagi anak kecil di belakangku terus saja bermain dengan resleting tasku. Aku memandang dengan gemas kearah anak itu.

Gemas ingin memakannya.

Bocah perempuan dengan celana jeans dan jaket pink berstempel kuda poni dibagian dada itu melihat ke atas, ke arahku dengan mata bulatnya yang berwarna cokelat terang. Aku memicingkan mataku, mengisyaratkan agar tangan gembulnya meninggalkan resleting tasku, tapi dia tetap bergeming dan menggelengkan kepalanya, membuat rambut panjang cokelat keemasan yang dikuncir kuda itu bergerak naik turun. Usianya mungkin baru sekitar 4 atau 5 tahunan, tapi kelakuannya sudah menyebalkan.

"Sabrina, don't do that. That's not nice, Honey."

"Mom," protes bocah itu.

Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan seorang perempuan muda, mungkin seumuran denganku. Dia membawa air mineral gelasan yang sudah pasti diambilnya dari meja yang disediakan oleh pihak bank. Perempuan itu wajahnya sangat asli muka-muka Indonesia, dengan kulit sawo matang, rambut panjang yang dicepol asal-asalan namun terlihat cantik, polesan make up tipis dengan lipstik nude menghiasi bibirnya. Kontras sekali dengan bocah perempuan itu. Dia pun kalah 2 jengkal tingginya denganku.

"Maafkan anak saya ya, mbak. Dia memang agak jahil kalo ditempat umum. Biasanya kalau ada bapaknya anteng tapi ini orangnya lagi di ATM," ucapnya dengan sopan seraya menggandeng tangan anaknya untuk menjauh dari tas ranselku.

"Mom," protes anaknya yang dibalas dengan tatapan tegas ibunya.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, enggak masalah mbak." Lalu kembali menghadap depan.

Aku bukannya sensi dengan anak kecil, tapi kadang mereka melakukan hal yang membuatku sulit untuk mengontrol emosiku, seperti mengganggu saat aku sedang bad mood seperti sekarang ini. Terlahir sebagai anak bontot harus kuakui bahwa aku tidak pandai berurusan dengan anak kecil maupun bayi, karena menurutku itu adalah sesuatu yang canggung dan sedikit menakutkan. Kadang mereka tidak menjawab saat ditanya atau malah mengejek saat diberi tahu, apalagi saat mereka menangis itu sangat mengerikan.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang