Nightclub

824 41 33
                                    

Suara musik yang menghentak gendang telinga, menyambutku ketika memasuki The Baxter, tempat yang Randi sebutkan di telepon tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara musik yang menghentak gendang telinga, menyambutku ketika memasuki The Baxter, tempat yang Randi sebutkan di telepon tadi. Kupikir The Baxter merupakan klub malam yang 'santai', karena bangunan luarnya terlihat begitu elegan. Namun, tempat ini ternyata lebih kacau dari yang kubayangkan.

Orang-orang menari dengan sisa kesadaran mereka di lantai dansa. Bercumbu dengan orang yang mungkin saja baru mereka temui tanpa rasa malu. Suara riuh teriakan bahagia dan tawa semakin membuatku tidak tenang.

Ini bukan tempatku. Jika bukan karena Dion dan kembarannya yang menyebalkan itu, aku tidak akan mungkin menginjakkan kaki di tempat seperti ini.

Aku bersusah payah menerobos lautan manusia dan mencari tempat yang lebih lenggang untuk menelepon Dion. Ini akan sulit jika aku mencari mereka sendiri.

Dalam nada tunggu ketiga, masih belum ia jawab. Lalu aku beralih untuk menghubungi nomor Randi. "Why are you calling me? I'm not your boyfriend," ucapnya kesal dengan suara yang masih kurang jelas.

Astaga ini orang!

Aku memejamkan mata, seolah itu bisa mengontrol emosiku. Namun, nyatanya tetap tidak bisa. Aku begitu kesal dengan mereka berdua. "Yang nyuruh gue datang ke sini tadi siapa, hah? Sekarang lo ada di mana? Gue udah sampai."

Ia tertawa keras, membuatku menjauhkan ponselku dari telinga. "Sweetie pie, loosen up 'lil bit. I'm just kidding. Gue sama Dion ada di ruang VIP. Lo naik, nanti di sebelah kanan situ. Gue bisa lihat lo dari sini." Ia terkekeh.

Aku melihat ke atas, di mana area terbuka di lantai dua berada. Di sebelah kanan, kulihat seseorang laki-laki sedang melambaikan tangannya. Dari tempatku berdiri tidak begitu jelas wajahnya.

Aku langsung menutup teleponnya dan berjalan menuju tempat yang Randi sebutkan. Saat aku memasuki ruang VIP, aku langsung disambut pelukan yang tak diduga. Entah dari Randi atau Dion, karena dalam ruangan yang minim cahaya ini, aku tidak bisa membedakan keduanya.

"Stephanie …. "

"Get off!" Aku mendorongnya untuk menjauh dan menangkup wajahnya. "Look at me!"

Oke, ini Dion. Karena ada tanda lahir di pelipis kanannya.

Dion memelukku kembali. "I missed you," ucapnya dengan manja di leherku. Hangat napasnya yang menyapu kulit, membuatku meremang.

"Why are you doing here with that asshole?" tanyaku menepuk-nepuk punggungnya.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ukurannya lumayan luas, terdapat sofa besar dengan bentuk setengah lingkaran yang sedang ditiduri  oleh Randi. Lalu meja bulat yang penuh dengan minum dan rokok. Lampu LED berwarna pink dan biru mendominasi ruangan yang gelap. Di sebelah timur, terdapat layar besar yang menempel di dinding, mungkin itu untuk karaoke.

"Dion, lepas," ucapku lagi. "Kita harus pulang. Tadi kamu ke sini pakai mobil siapa?"

"Hmmm … what?" tanyanya dengan bingung. Ia bahkan terkekeh, entah karena apa.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang