Pengakuan

804 41 97
                                    

Melihat Dion menidurkan kepalanya dipangkuanku, rasanya seperti kembali ke masa lalu. Masa dimana aku pertama kali menaruh rasa padanya. Kala itu aku belum lama mengenal Dion, namun kami sudah cukup dekat.

"Kamu ingat enggak pernah ada diposisi kayak gini?" tanyaku sambil membelai rambutnya. Dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat bulu matanya yang tebal dan lentik, serta alisnya yang lebih rapi dariku.

"Di depan kelas kan?" Ia tersenyum lebar yang membuatku melakukan hal yang sama.

"Iya. Sampai sekarang aku masih enggak tahu kenapa tiba-tiba kamu tiduran di pangkuanku padahal di sana ada guru sama anak-anak yang lain," kataku sambil menggelengkan kepala.

Saat itu, guru bahasa Inggris kami yang bernama Bu Surya memutuskan untuk melakukan pembelajaran di luar kelas setelah mendapat komplain dari beberapa siswa di kelas kami kalau mereka merasa bosan belajar di dalam ruangan. Lalu siang itu, kami sekelas duduk di koridor sambil mengerjakan tugas bahasa Inggris. Harus kuakui, metode seperti itu bisa meningkatkan mood siswa kembali.

Awalnya Dion duduk agak jauh dariku, namun tiba-tiba ia mendekatiku dan langsung menidurkan kepalanya di pahaku. Aku mencoba protes saat itu kepadanya, namun ia hanya berbisik, "sebentar aja. Aku pusing dengerin gurunya ngomong terus."

Anehnya lagi, Bu Surya pun tidak menegur kami berdua walaupun beliau dengan jelas bisa melihat apa yang Dion lakukan saat itu. Namun berbeda dengan teman-teman sekelas kami, terutama yang perempuan. Mereka menatapku dengan sinis atau melontarkan sindiran.

Dion terkekeh sambil membuka salah satu amplop dari dalam kotak merah itu. "Aku juga enggak tahu kenapa. Cuma kayaknya nyaman aja tiduran di pangkuan kamu gini dan ternyata emang iya. Nyaman banget."

Aku beralih membelai kedua pipinya yang mulus dan terbebas dari rambut wajah, karena gemas. "Kapan kamu mau mulai bacanya?"

"Iya, ini juga lagi mau dibaca. Enggak sabaran banget sih," ledeknya yang membuatku mencubit hidung mancungnya.

Ia terkekeh. "Udah dong. Lagian kenapa sih kamu enggak mau baca sendiri aja? Aneh tahu baca tulisan sendiri."

"I don't know. You're voice kinda sound filthy when you talk to me and also I think you have a great reading voice. I guess that's why I love hearing you talk."

Ia membalikkan badannya dan menatapku dengan tatapan geli. "Do I sound filthy right now?"  Godanya.

Aku terkekeh untuk menutupi wajahku yang memanas akibat tatapan itu. "Hmm..."

Dion membaringkan kepalanya kembali di pangkuanku. Ia berdeham sebelum berbicara, "aku cuma baca yang punyaku ya ini."

"Oke." Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan. Lagi pula aku juga tidak mau mendengar ia membaca surat-surat yang kukirim dulu. Jika kuingat-ingat lagi, sepertinya aku terlalu dramatis dan terkesan berlebihan dulu.

Saat Dion melihat ke atas, mata kami bertemu. Aku mengangguk untuk menandakan bahwa aku siap mendengarkan surat yang ia tulis.

"Untuk, Stephanie. Kata 'maaf' terdengar terlalu murahan untuk kuucapkan kepadamu. Kata itu tidak cukup untuk menebus kesalahan yang pernah kubuat. Tapi aku tetap akan meminta maaf kepadamu. Aku tahu aku salah, aku sadar itu. Meninggalkanmu di Jogja malam itu tanpa kejelasan adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan. Menyakiti perempuan yang kusayang sama saja bunuh diri. Jangan pernah berpikir jika aku hidup tenang di London, Steph, aku sama menderitanya denganmu.

Steph, aku tahu kamu berhak mendapatkan penjelasan yang selama ini kamu tunggu. Aku akan menjelaskan semuanya saat kita bertemu lagi nanti. Aku bisa berkata seperti itu karena akan pulang kembali untukmu saat semua urusanku di sini sudah selesai. Karena untuk saat ini, aku masih belum bisa menemuimu.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang