Persiapan

486 24 0
                                    

Bersatunya dua anak manusia dalam sebuah ikatan yang disebut pernikahan memang menjadi dambaan sebagian besar orang. Apa yang kuyakini mengatakan, jika semua manusia telah ditentukan akan berjodoh dengan siapa dan bagaimana jalannya. Aku termasuk orang yang menyerahkan segalanya pada sang penguasa semesta akan hal itu. Walaupun tujuh tahun ke belakang aku selalu mengharapkan satu nama yang akan mendampingiku kelak, tetapi aku sama sekali tidak menyangka jika Tuhan benar-benar mengabulkan permohonanku.

Tidak pernah terbayangkan olehku jika seseorang yang selama ini aku dambakan datang dengan keberaniannya untuk menemui kedua orang tuaku dan meminta izin untuk menikahiku. Terlebih lagi pertemuan antara kedua keluarga terjadi begitu cepat, hanya tiga hari setelah ia mengutarakan niatnya itu, keluarga kami bertemu.

Kebahagiaan dua pasangan suami dan istri dari keluarga Mahardika itu terpancar sangat jelas saat mereka satu per satu memeluk dan memberiku ucapan selamat. Terutama sang ibu, pelukan yang kudapat dari Tante Anna sangatlah kencang, aku pun mendapat kecupan di kedua pipiku.

"Terima kasih sudah menerima lamaran anak tante ya, Sayang," bisiknya di telingaku dengan suara yang bergetar. Hatiku menghangat mendengar kata-kata itu. Pikiranku melayang kembali ke malam di mana Tante Anna meminta maaf atas perbuatan anak sulungnya.

Farah yang menggandeng Sabrina pun tak luput memberiku ucapan selamat dan doa untuk kelancaran acaraku dan Dion nanti. Randi juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghadiahiku dengan kata-kata recehnya.

"Wah, calon kakak ipar. Baik banget sih lo mau nerima saudara kembar gue,Steph," ucapnya seraya memelukku. Aku tidak membalas candaannya dengan kata-kata, hanya putaran mata yang kulakukan sudah menjawab segalanya. Ia terkekeh akan hal itu.

Acara makan malam yang diadakan di rumah orang tuaku antar dua keluarga berjalan cukup baik. Meskipun Adrian terlihat memaksakan senyumannya. Beberapa kali aku menangkap Karina mengingatkan Adrian untuk bersikap normal dengan cara menyikut lengannya setiap kali ia mengembuskan napas berat. Namun, sebisa mungkin aku menghiraukan itu dan memfokuskan pada pembicaraan yang Om Rudy bahas mengenai acara pertunanganku dan Dion.

"Menurut saya, lebih cepat lebih baik. Mengingat Dion dua minggu lagi harus pergi ke London untuk menyelesaikan urusannya di sana. Kalau menurut Pak Evan dan Bu Sandra bagaimana?" tanya om Rudy pada kedua orang tuaku.

Papa dan mama memberikan jawaban yang netral, mereka lagi-lagi menyerahkan segala keputusan padaku. Apa aku setuju jika acaranya akan berlangsung dalam waktu dekat. Mereka seperti tidak ingin terdengar memaksaku dalam mengambil keputusan. Dion yang duduk di sampingku menyetujui usulan papanya, menurutnya akan lebih baik jika sebelum ia pergi setidaknya sudah ada pengikat antara kami berdua. Semua orang setuju dan akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk menggelar acara pertunangan sepuluh hari lagi.

Sepuluh hari adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala kebutuhan dan juga untuk memberitahu kabar bahagia ini pada sanak saudara kami.

"Gimana kalau pas pertunangan kita ngundang keluarga aja, mungkin sama orang-orang terdekat?" usulku. "Baru nanti kalau pas nikahannya kita undang lebih banyak orang."

"Itu ide yang bagus, Sayang. Biar suasananya lebih terasa juga 'kan," timpal Tante Anna. "Kalian berdua mau temanya gimana?"

Tema? Itu bahkan belum terpikirkan olehku.

Aku dan Dion saling berpandangan, kurasa ia juga belum mempunyai ide mengenai tema acara kami. Pada akhirnya Tante Anna dan mamaku yang akan mendatangi pihak wedding organizer untuk berkonsultasi. Tante Anna juga menyuruh Dion untuk segera mengajakku ke toko perhiasan untuk pengukuran cincin.

Keesokan harinya ketika aku sedang memoles wajah dengan dandanan tipis, mama mendatangi kamarku dengan rona bahagia begitu terlihat di wajah polosnya tanpa riasan.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang