Penghianat

148 8 0
                                    

"Maksud kamu gimana? Dihianati siapa?" tanyanya dengan nada yang berhati-hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maksud kamu gimana? Dihianati siapa?" tanyanya dengan nada yang berhati-hati.

Aku melepaskan pelukan kami dan Dion membantuku untuk duduk di sampingnya. Ia menyeka air mataku sebelum mengambilkan segelas air putih dan kotak tisu. "Minum dulu ya, biar enak ngomongnya."

Aku hanya menyesap air putih itu dan meletakkan gelasnya kembali di atas meja. Kuambil dua lembar tisu untuk mengusap air mata dan juga ingusku. Demi apapun aku pasti terlihat kacau saat ini.

"Udah?" tanya Dion. Ia mengusap punggung tanganku, memberikan kecupan di sana sebelum merapikan anak rambutku yang terlepas dari ikatan.

Aku mengangguk. "Kamu tahu kan kalau akhir-akhir ini lagi musim nikahan?"

"Iya, kemarin pas kita cari WO juga agak susah kan. Kalau nggak mama kamu yang kenal sama orangnya, mungkin kita belum bisa tunangan kemarin," balas Dion. "Tapi apa hubungannya sama kamu yang nangis? Kamu iri sama mereka yang nikah duluan? Kan tinggal nunggu bulan aja, Yang. Abis aku pulang dari London, kita langsung nikah. Enggak perlu nangis."

Aku berdecak sembari membenarkan posisi dudukku. "Kok jadi aku yang iri. Bukan, aku nggak peduli sama orang-orang yang nikah duluan, D."

"Ya terus kenapa?" desaknya.

Kuambil tangan kiri Dion, mengamati cincin platinum dengan batu ruby kecil bertengger di tengah yang melingkar di jari manisnya. Tangannya begitu hangat, kontras dengan milikku yang sedingin es. Sejalan dengan itu, jantungku pun berdetak lebih cepat dari biasanya. Pikiran negatif masih terus mengelilingi kepalaku.

Aku menelan ludah dan membasahi bibirku sebelum berbicara. "Kamu tahu kan alasan kenapa aku booking gedung buat launching Wedding Edition Louroose jauh-jauh hari?" Pertanyaanku mendapat anggukan dari Dion. "Bandung itu salah satu pilihan yang aku sama Stella mau. Karena di Jakarta udah susah cari gedung yang luas, yang pas buat acara gede gitu dan pas sama budget Louroose. Aku sama Stella pilih Bandung. Kan juga nggak terlalu jauh dari Jakarta, suasana juga bagus, sejuk gitu. Aku udah bayar DP tiga puluh lima juta waktu itu dan sisanya akhir minggu lalu.

"Karena aku atau Stella masih harus ngurus kantor, aku minta tolong salah satu karyawan aku yang pegang marketing buat ke Bandung. Buat bayar sisanya gitu. Dia udah kerja sama aku dua tahun, D. Aku percaya sama dia. Dia orangnya pekerja keras, baik, nggak pernah telat soal kerjaan." Bibirku bergetar ketika air mata kembali jatuh

"Sssh, Sayang …udah-udah. Kok nangis lagi sih." Dion mengusap pipiku menggunakan tangan kanannya.

"Tapi … tapi dia tiba-tiba nggak datang tadi ke kantor. Terus dia nulis surat buat aku … yang isinya minta maaf. Dia bawa kabur uangnya. Aku udah percaya sama dia, aku minta tolong buat bayarin. Dan kemarin itu telat-telatnya. Kalau sampai aku belum bayar sampai hari Sabtu kemarin, gedungnya bakalan dipakai orang lain yang udah masuk list dan bayar full. Walaupun nantinya uang DP bakalan balik, cuma itu nggak adil aja …."

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang