Pillow Talk

966 48 129
                                    

Gunakan headphones atau earphones biar kedengeran lebih syahdu 😌
. . .

"Jam berapa ini?" tanyaku sambil mengguap.

Dion menengok ke arah kanannya. "Setengah sebelas. Kamu udah ngantuk?" tanyanya.

"Belum sih, cuma capek aja."

"Ya udah, aku ambil baju ganti buat kamu ya. Biar kamu nyaman tidurnya."

"Thank you," ucapku sambil mendongak untuk melihatnya.

Dion tersenyum kecil lalu mengusap lenganku. "My pleasure, Angel Face."

Dion melepaskan pelukannya dan membereskan kotak merah itu serta buku sertifikat rumahnya. Lalu ia mengambil sebuah kaus berwarna biru tua polos serta celana pendek berwarna hitam dan memberikannya kepadaku. Aku menerima itu lalu pergi berjalan menuju kamar mandinya untuk berganti pakaian. Kaus miliknya terlihat kebesaran di badanku, bahkan ini terlihat seperti dress shirt dan menutupi running shorts yang kupakai.

Aku membasuh wajahku lalu melihat pantulan diriku di cermin, kedua mata yang sembab dan bibir merah ini membuatku mendengus pelan. Kenapa harus ada tangisan malam ini disaat aku hanya ingin menikmati momen dengan Dion? Pikiranku kembali memutar informasi yang Dion utarakan tadi, tentang dirinya dan Stella yang saling berkomunikasi selama tujuh tahun ini tanpa sepengetahuanku. Bagaimana aku harus menghadapinya besok? Apa aku harus pura-pura tidak tahu atau aku menanyakan ini semua kepada sahabatku? Apa dia akan berkata jujur? Aku menggelengkan kepala dan membuang jauh-jauh pikiran itu, setidaknya untuk saat ini. Aku tidak mau malam ini tidur dengan suara yang menganggu kepalaku.

Sebuah ketukkan pintu dari luar kamar mandi sedikit menggagetkanku. Aku mendengar Dion berbicara dari luar, "Steph, kamu udah ganti bajunya?"

Aku berjalan menuju pintu dan membukanya. "Udah. Kenapa?"

Dion mematung di ambang pintu sambil memperhatikanku dari ujung kepala sampai kaki. Tatapannya berlangsung terlalu lama ketika terhenti di pahaku. Dasar cowok!

"My eyes are up here, Dion."

Ia dengan sergapnya mengalihkan pandangannya kembali ke mataku. Seringai tipis terukir di bibirnya. "Sorry. Oh iya, kalau kamu udah selesai aku ikutan masuk. Aku mau cuci muka sama gosok gigi," jelasnya.

"Ya..." Aku mengangguk dan memberi jalan untuknya agar bisa masuk ke kamar mandi. Aku mengikutinya dan melakukan hal yang sama.

"Sikat giginya ada di laci bawah wastafel," katanya sambil membasahi sikat giginya dengan air. "Mm, baju kotor kamu ditaruh aja di keranjang ya. Besok sekalian biar di cuci dulu sebelum kamu pakai lagi."

"Oke," jawabku. Lalu kumasukkan pakaian yang kupakai tadi ke dalam keranjang yang ia maksud. Setelah itu aku membuka laci yang ia maksud dan mengambil sebuah sikat gigi warna biru-putih. Dion memberikan pasta gigi yang sebelumnya ia gunakan kepadaku. "Thank you."

"Anytime, Baby." Ia tersenyum.

Kami berdua tenggelam dalam diam dan mengosok gigi masing-masing. Sesekali aku menangkap laki-laki di sampingku ini menatapku dalam pantulan cermin dengan mata yang tersenyum. Itu membuatku tersadar betapa dalamnya perasaanku untuknya. Aku ingat saat kuliah dulu ketika ada seorang laki-laki mendekatiku, namanya Hendri, dan ia berniat ingin mengenalku lebih jauh. Kami satu fakultas dulu hanya saja bukan satu hati.

Namanya Hendri. Orangnya sangat baik, ia juga penyabar dan pengertian. Namun entahlah, pedomanku kala itu untuk menemukan laki-laki yang akan menjadi pasanganku adalah aku harus mempunyai kadar cinta seperti halnya cintaku kepada kedua orang tuaku dan Adrian. Cinta yang tidak mengenal batas dan akan selalu kembali bersama walaupun setelah bertengkar. Jika aku tidak mempunyai perasaan itu, artinya ia bukan jodohku dan perasaan kepada Hendri hanya sebatas teman saja, tidak lebih dari itu.

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang