Argumen

779 38 83
                                    

Pakai headset, earphones atau headphones buat dengerin lagunya 🙃

. . .

Pikiranku sedang sangat tidak menentu saat ini. Baru beberapa saat yang lalu aku merasa bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama Dion dan Sabrina, namun sekarang aku merasa sangat kecewa dengannya dan juga sahabatku. Iya benar, aku tidak marah, hanya kecewa saja. Mungkin minuman yang ada di tanganku juga berperan dalam mengubah emosiku saat ini. Entahlah. Aku kembali menyesap minuman ini, sambil menatap ke arah lukisan abstrak yang ada di kamar Dion. Sang pemilik kamar sedang mencari sesuatu di dalam brankasnya, lalu ia kembali terduduk di sampingku dengan membawa sebuah buku besar.

Aku menunjuk jariku ke arah benda yang Dion bawa. "Itu apa?"

Dion terdiam seperti sedang menyiapkan dirinya untuk lebih terbuka denganku. Ia menyerahkan buku itu kepadaku, aku menaruh gelasku di meja sebelum membaca isi dari buku yang ia berikan, yang mana langsung membuatku terheran-heran.

"Sertifikat rumah, buat apa?" tanyaku dengan bingung saat membaca bagian depan buku itu.

Ini aku enggak salah lihat kan? Mana mungkin aku mabuk hanya dengan dua gelas anggur. Itu pun tidak sampai setengah gelas aku menuangkannya tadi.

"Iya. Itu sertifikat rumah," jawab Dion. Ia menyenderkan punggungnya di headboard dan menatapku.

"Buat apa kamu kasih ini ke aku? Sertifikat rumah siapa lagi ini?" Aku membuka lebih lanjut buku itu, lalu menemukan namanya di sana. Ardion Jay Mahardika. Aku melihat ke arah Dion dengan heran. "Rumah kamu? Rumah yang ini?"

Ia mengangguk lalu menjilat bibirnya. "Aku dapat rumah ini tahun 2013, dari salah satu agen properti yang menurutku udah terpercaya. Dengan harga yang menurutku masuk akal buat bangunan seluas ini. Dulu rumah ini cuma satu lantai, halamannya luas, terus akses kemana aja juga dekat dari sini. Jadi kenapa enggak, aku beli aja."

"Aku enggak paham kamu ngomong apa," kataku. Alisku bertaut mendengar pernyataannya.

Apa maksudnya ini?

"Rumah ini dulu di jual 2,5 M. Aku beli bulan Februari 2013... atas nama Luiz Serrano."

Seketika memori enam tahun yang lalu tiba-tiba kembali hadir di pikiranku. Tepat di mana pertama kalinya aku mendapatkan komisi yang lumayan besar dari tempatku bekerja, Ayana Property Agency. Seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahunan yang dengan baik hati menghubungiku siang itu dan langsung meminta untuk di temani melihat rumahnya. Tanpa pikir panjang, beliau langsung mengatakan jika cocok dengan rumah yang aku tawarkan itu. Selang beberapa hari, rumah itu berpindah ke tangannya dan aku mendapatkan komisi sekitar 60 jutaan.

"Enggak mungkin," ucapku dengan menutup mulut karena kaget. "Dion, kamu jangan bercanda. Enggak mungkin..."

Pantas saja aku seperti mengenal rumah ini.

"Luiz Serrano itu adiknya mamaku. Aku minta tolong om Luiz buat beli rumah ini atas namanya, terus empat tahun yang lalu aku mengajukan balik nama. Aku beli rumah ini dengan uang pinjaman dari papa. Aku bayar utangnya dari gajiku selama kerja di London," lanjutnya.

Luiz Serrano adalah adik tante Annalise? Bagaimana bisa aku tidak tahu itu? Oh iya, mungkin karena dirimu tidak tahu nama belakang tante Annalise sebelum menikah dengan om Rudy, Steph.

Aku menatap Dion dengan tidak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu beli rumah ini? Kamu kasihan sama aku?"

Dion rela hutang sama papanya demi beli rumah yang aku jualin? Astaga!

Steph & DionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang