Bubur ya akan tetap menjadi bubur.
Mungkin itulah yang ingin sekali Ibu Jungkook, Kim Sara, ingin katakan dengan lantang pada dunia. Menyuarakan apa yang selama ini membenam dalam benak terdalamnya. Menjadikan diri sendiri layaknya sumur masa lalu yang tak akan pernah keberatan menampung segala kenangan dan segala yang tetap berlalu kendati teringin sekali menghentikan detik untuk setidaknya bisa bernapas dengan lega. Ingin sekali. Namun tetap saja dadanya terasa sesak, seperti terhantam batu besar ditiap detik napasnya berembus mengudara menyatu bersama semesta kembali.
Untuk hari kesekian ia kerap menangis ditengah malam seorang diri, akhirnya pada malam itu ia kembali mendongakkan kepalanya untuk kembali menghadapi semestanya yang hancur bersama dengan kepergian anak lelakinya; Jeon Jungkook. Kim Sara bahkan rasanya sudah tidak bisa lagi menghitung berapa banyak goresan dalam dikedua pergelangan tangannya. Penuh. Bahkan rasanya bekas timbul itu semakin terasa menebal lantaran tidak hanya satu atau dua kali Kim Sara menggoreskan pisau siletnya yang tajam itu hampir mengenai nadinya.
Tidak pernah ada yang membenarkan tindak bunuh diri, semacam tindakan paksa pada dirinya sendiri untuk menghilangkan nyawa yang bahkan belum saatnya untuk meninggalkan raganya. Namun bagi Kim Sara, dulu, itu adalah tindakan paling benar. Keputusan yang dirinya kira benar, ternyata tetap akan selalu salah dimata anak laki-laki satu-satunya itu. Jungkook, anaknya tidak pernah bisa menerima keputusannya. Dan itu membuat Kim Sara rasanya hampir tidak bisa mengendalikan anaknya yang bersikap tidak terkontrol lagi. Berbeda dengan dulu. Jungkook kecil kala itu berubah menjadi anak yang tak lagi menurut. Selalu membentak kala dirinya memberikan sedikit petuah, atau hanya sekedar bertanya. Bahkan ia pernah mendapat lemparan piring berisi dua ply roti tawar isi coklat setelah ia tidak sengaja membuat Jungkook kalah dalam permainan game-nya karena ia menyuruh anak itu untuk makan.
Sakit. Pilu. Dadanya sesak bukan main. Rasanya seperti telah kehilangan segalanya bahkan disaat ia masih memiliki yang paling berharga untuknya. Anaknya.
Harta. Kedudukan. Marga Jeon yang diagung-agungkan semua kalangan di seantero Abel Red, bagi Kim Sara semua itu sudah tidak ada lagi yang berharga. Tidak ada maknanya. Kendati tidak juga munafik ia bisa hidup sebegitu baiknya dengan semua itu. Namun itu dimata manusia lain, sedangkan dirinya sendiri merasa sudah tidak ada lagi yang tersisa dalam dirinya. Habis, seperti serpih abu yang akan terbang menghilang terbawa angin yang menelannya.
Apalagi setelah Kim Sara benar-benar kehilangan apa yang membuat napasnya masih menderu. Sirat sendu didalam kedua manik mata Jungkook yang dulu selalu menyorot memuja. Tidak ada yang tersisa disana, hanya ada kekecewaan dan kebencian yang melebur. Air mata mungkin bukanlah lagi bagian dari Jeon Jungkook, karena sekalipun Kim Sara tidak mendapati anaknya menangis setelah sidang perceraian itu bahkan hingga ia memutuskan untuk menikah lagi dengan pria yang sekarang menjadi suaminya.
Berteman langkah yang tergesa memotong tiap ruas lorong putih sebuah rumah sakit, Kim Sara berkali-kali mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir dari kedua kelopaknya. Dirinya menangis, namun tetap dalam heningnya. Diamnya memiliki banyak makna. Selain kesedihan, dirinya juga mendamba kakinya agar cepat sampai didepan pintu ruangan rawat anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Secrets ✓
Fanfiction[COMPLETED!] [SERI-1] Aku tahu duniaku hanyalah berisi tentang hancurnya kepercayaanku pada sebuah hubungan, tapi mungkin garis takdir ini adalah yang paling indah untukku menyadari bahwa masih ada rengkuhan yang lebih hangat dari sekedar kasih tak...