Jarum panjang pada jam dinding sebuah ruangan yang kontras dengan penerangannya, berdetak tanpa henti. Deru pendingin ruangan yang juga menginvasi hampir kedua liang pendengaran.
Cat hitam dan beberapa interior biru saphire juga turut membuat ruangan seorang pemuda itu layaknya sebuah relung waktu. Indahnya gelap yang bertemu terang, bersama sepi dengan gencarnya keceriaan. Keduanya saling melebur mengais apa yang manusia sebut sebagai bahagia. Bahagia diatas bumi sebelum pada akhirnya mendekam pada peti mati sambil terus menunggu kapan hari dibangkitkan itu tiba.
Namanya Jeon Jungkook. Putra semata wayang dari seorang mayor bisnis Abel Red. Seorang pentolan manusia super dari ribuan manusia yang tinggal disana. Kekuasaannya jangan ditanya, apalagi uang dan seberapa berpengaruhnya manusia yang bermarga Jeon disana. Termasuk juga sekarang seseorang yang sedang berdiri dibalik pintu balkon yang tertutup karena sedang hujan.
Mungkin jika tidak sedang hujan, Jungkook akan memilih untuk duduk diluar dengan matanya memandang langit tanpa halangan. Menghitung bintang, kali saja sudah berganti jumlahnya. Kendati Jungkook juga tidak benar-benar menghitungnya, namun menyenangkan saja saat mata mulai mengantuk tepat dihitungan ke seratus. Jungkook senang sekali saat melakukan itu, seperti malamnya berlalu dengan kenangan manis.
Jungkook masih betah saja berdiri kendati kakinya mungkin tengah menahan pegal selama hampir 10 menit hanya memandangi betapa rintik hujan itu menembus tanah buminya. Tangannya dibiarkan merangsek kedalam saku celana piyama tidurnya yang berwarna indigo itu. Jungkook pecinta tema gelap dan ia sangat mencintai bagaimana putih dan hitam yang akan berubah menjadi abu-abu. Se-abu-abu dirinya yang selalu merasa tenggelam dalam kesepian yang nyata, meskipun ia mandi diatas kubangan kemewahan.
Sesekali Jungkook menarik napasnya dalam-dalam. Sedalam apa yang sekarang memenuhi isi kepala tentang apa-apapun yang gadis itu katakan siang tadi.
"Bukan seperti ini caranya jika kau ingin membuat hatimu tenang. Temui ibumu, dan jangan khawatir, aku akan menemanimu. Disampingmu. Seperti yang biasa kita lakukan. Bersama."
Gadis itu adalah temannya. Gadis manis yang entah kenapa mulai merangsek masuk kedalam hatinya. Menjalari setiap desiran darahnya hanya ada namanya. Namun dirinya juga terlalu takut. Takut sekali jika ia mengatakan apa yang dia rasakan yang sebenarnya, ia akan kehilangannya.
Sampai kapanpun Jungkook tidak akan pernah merasa siap untuk kehilangannya. Bahkan rasanya Jungkook hanya ingin gadis itu tetap bersamanya. Tidak peduli status mereka hanyalah teman atau bahkan hanya sekedar orang asing yang saling menggenggam. Jungkook tidak peduli, karena yang dirinya inginkan hanyalah gadis itu akan senantiasa membersamainya hingga waktunya ia akan mengatakan semuanya.
Jungkook memang naif, namun tidak untuk perasannya yang tak pernah bisa berbohong. Ia memang perlu bukti untuk segala hal yang hatinya yakini, termasuk ia juga sedang memastikan bahwa apa yang dirinya rasakan adalah kasih dan bukan hanya sekedar nafsu belaka. Ia benci mengakui bahwa ia mungkin bisa saja menyerang gadis itu kapan pun ia mau. Namun nyatanya, ia akan selalu berakhir memeluk lalu mengecup puncak kepala. Atau paling jauh yang dirinya minta pada gadis itu adalah blowjob. Terkesan brengsek, namun ia belum ingin menghancurkan gadis itu kendati teringin dengan sangat.
Jika Jungkook selalu mencari celah bagi perasaannya mendominasi untuk segera dirinya temukan kebenarannya, pada gadis yang sialannya terlalu terbuka padanya dan begitu tidak terbebani saat menjadi temannya disaat Jungkook mati-matian menahan dirinya, gadis itu; Kim Yerin.
Cantik dan menarik. Sarkas namun isi kepalanya terlampau bisa diandalkan. Jadi dirinya senang saja, rasanya jadi ingin memiliki seutuhnya. Namun dirinya juga takut jika perasaannya tidak berbalas.
Jungkook bukan pecinta disney sekalipun wajahnya kelewat imut, tetapi beberapa kali ia melihat dalam serial tentang putri duyung legendaris itu. Darisanalah Jungkook menarik satu kalimat paling ia benci sepanjang masa, namun ia teramat sering mengingatnya dalam isi kepala.
'Berkaca pada putri Ariel yang berubah menjadi buih karena cintanya tidak pernah memberikan suara yang sama'
Menyedihkan, tapi itulah yang para manusia sebut sebagai cinta sejati. Namun, bagi Jungkook semua itu bukanlah makna cinta, melainkan sebuah pengkhianatan.
Satu pihak jelas mengakui cintanya, namun disaat yang sama pula satu pihak lain yang berkata mencintainya malah berakhir menarik uluran tangannya dan menjauh. Membiarkan tangan itu hampa lalu berbalik tanpa sekalipun menoleh guna memastikan yang ditinggalkan tetap baik-baik saja. Nyatanya, seperti sang puteri yang menjadi buih dilautan dan terombang ambing oleh deburan ombak, seperti itulah kini keluarganya hidup meskipun ditengah kemewahan yang semesta berikan pada keluarganya.
Sedari dulu Jungkook benci ibu dan ayahnya berpisah kala dirinya masih duduk dibangku sekolah menengah. Jelas Jungkook sudah besar kala itu, namun meskipun begitu, Jungkook tidak akan pernah bisa sepenuhnya menerima keputusan kedua orang tuanya yang memilih jalan masing-masing. Belasan tahun mereka mengumandangkan cinta dan kemesraan yang terumbar disegala media tentang keluarga cemara, semuanya hanya berakhir dengan sebuah akta cerai dari pengadilan.
Persetan. Jungkook tidak bisa mengendalikan dirinya kala itu. Ia akan lebih memilih untuk tidur di bar daripada dirumahnya yang sepi lagi tanpa kehadiran ayahnya. Jelas ia memilih ibunya sebagai hasil akhir dari aju bandingnya, namun Jungkook juga tidak puas dengan keputusan sialan itu. Keduanya bercerai, dan Jungkook tentu menjadi anak broken home.
Jungkook tidak pernah menyalahkan apapun itu, baik keputusan orang tuanya, maupun statusnya sekarang. Namun rasanya ia malah tambah tidak terima saat ibunya memilih untuk menikah lagi dengan seorang pria yang tak lain adalah sang rival bisnis keluarganya dahulu. Pemilik Kim Corporation yang sekarang membuatnya memiliki saudara tiri bernama Kim Taehyung. Ia tambah membenci ibunya sekalipun ia tidak benar-benar membencinya.
Ibunya pernah berkata; suatu saat kamu akan mengerti, anakku, Jeon Jungkook.
Seperti itu. Jungkook masih ingat dengan jelas. Dan ia juga berkali-kali mencoba menepis rasa kecewa itu, meskipun selalu gagal dan dirinya yang enggan bertemu dengan ibu, apalagi keluarga barunya.
Lalu, puncaknya adalah saat Jungkook memilih untuk tinggal bersama ayahnya. Kabur dari rumah lalu mengetuk pintu rumah besar ayahnya yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Jungkook awalnya senang, namun lama kelamaan ia juga muak karena setiap malam ia harus menyaksikan ayahnya selalu pulang dengan membawa seorang gadis yang berbeda. Seminggu dua kali, untuk dibawa sampai kamar.
Jungkook benci dan pada akhirnya ia meminta ijin untuk tinggal mandiri. Ia membeli apartemen dan semua yang dirinya butuhkan. Uang? Jelas akan mengalir tanpa hambatan ke rekeningnya setiap bulan dari ayahnya dengan jumlah yang tidak manusiawi. Maka dari itu ia bisa menjadi bajingan di usianya yang masih kelewat muda dan berlanjut hingga dia menjadi mahasiswa penuh skandal di universitasnya.
Pernah dengar bahwa hidup tak akan bisa selurus lengkungan pelangi dan seindah warnanya pun kendati untuk sesaat saja? Tidak ada kehidupan yang benar-benar sempurna. Semua orang memiliki sisi kelamnya sendiri, termasuk Jeon Jungkook yang selalu terlihat sempurna.
'Tidak selamanya yang terlihat sempurna diluar, dalamnya akan sama menawannya dengan luarnya.'
Jeon Jungkook telah memutuskan untuk membukanya. Membuka kelam yang selama ini rapat tak tersentuh oleh manusia lain kecuali dirinya, pada seorang gadis yang membersamainya hampir satu tahun lamanya.
Kim Yerin. Dengan segala pekatnya yang melebur menjadi lautan hitam. Keduanya saling menggenggam erat diatas ikatan persahabatan. Dan dengan begitu Jungkook mungkin akan mempertimbangkan untuk yang gadis itu katakan padanya.
"Jadi, kau selama ini mengenal Kim Taehyung secara dekat?"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Secrets ✓
Fanfiction[COMPLETED!] [SERI-1] Aku tahu duniaku hanyalah berisi tentang hancurnya kepercayaanku pada sebuah hubungan, tapi mungkin garis takdir ini adalah yang paling indah untukku menyadari bahwa masih ada rengkuhan yang lebih hangat dari sekedar kasih tak...