xvii. the truth

685 146 68
                                    


"Shin? Apa kita bisa bicara sebentar?"

Aku mengetuk pintu kamar yang digunakan Kita sekali lagi. Meremas tanganku canggung serta menggerakkan kakiku tak sabaran. Tak mendapati respon apapun, aku kembali mengangkat tanganku guna mengetuk pintu kayu di hadapanku lagi.

Namun detik berikutnya, pintu itu terbuka, menampakkan Kita Shinsuke yang menatapku heran. Rambutnya mencuat sana sini, terlihat kalau ia baru saja bangun tidur.

"[Name], sekarang masih jam 5 pagi."

"Aku tahu."

Aku tahu itu dengan pasti karena aku berulang kali menatap jam digital di kamarku. Tapi Kita biasanya sudah terjaga tepat jam 5 dini hari jadi aku memutuskan untuk segera menemuinya daripada larut dalam pikiran ku sendiri.

Tetapi nampaknya hari ini adalah hari dimana Kita telat bangun dari jadwal yang biasanya. Mungkin karena semalam ia tidur di atas jam 12? Aku tak tahu dengan pasti.

Kita sebaliknya malah menatapku lekat-lekat, manik terfokus pada bagian bawah mataku yang memiliki garis hitam. Tanda bahwa aku kekurangan waktu tidur. "Sebenarnya apa yang membuatmu tiba-tiba ingin bicara denganku?"

Kami bertukar pandangan sejenak sebelum aku mengulurkan tanganku, memperlihatkan penanda buku yang terus-terusan mengangguku.

Ekspresi Kita tak berubah namun ia segera paham dan memintaku masuk ke dalam kamar. Berkata bahwa tak baik jika kami berbicara di depan pintu apalagi orang tuaku sebaiknya tak mengetahui tentang pembicaraan ini. Dan aku menyetujui itu.

Aku duduk di dekat futon Kita yang belum sempat ia lipat sedangkan Kita beranjak ke dalam kamar mandi yang berada di sudut kamar, 5 menit ia habiskan disana guna membasuh wajah dan menggosok giginya.

Setelah Kita duduk di hadapanku, aku menghela napasku sejenak dan akhirnya memulai pembicaraan. "Aku sudah ingat."

"Apanya?"

"Kejadian sebenarnya dibalik penanda buku yang awalnya tak ku anggap penting ini."

Kita tak membalas ucapan ku tapi aku bisa melihat manik nya bergetar pelan. Aku yakin ia berusaha bersikap tak peduli, namun jauh di dalam hatinya ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Shin." Aku memegang lengannya dengan erat. Tubuhnya kaku di bawah sentuhanku. "Katakan padaku, apa hari itu aku benar-benar menyatakan perasaanku kepadamu?"

Pemuda di hadapanku bungkam. Entah tak ingin mengatakan yang sebenarnya atau sedang melakukan perdebatan batin yang tak ku ketahui detailnya.

"Katakan padaku, apa sebelum-sebelumnya aku sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa aku menyukaimu?"

Aku mengguncangkan lengannya agar ia segera menjawabku namun ia terus membisu.

"Shin! Jawab aku."

"Kenapa bertanya di saat kau sudah tahu jawabannya [Name]?"

Kita balik membalas dengan nada yang terkesan dingin. Ia menghembuskan napasnya yang sedari tadi tertahan.

"Jangan salah paham, aku hanya heran. Kau melupakannya semau mu lalu sekarang kau bersikap bahwa fakta kau pernah menyukai ku adalah hal yang begitu mengejutkan. Apa kau begitu menyesal karena pernah menyukai pemuda sepertiku?"

"Tidak!" Aku buru-buru menyahut. Mengigit bibirku dan mempererat tanganku di lengannya. "Aku tak menyesal. Hanya saja aku .... aku tak pernah menyukaimu ... setidaknya itu yang aku yakini. "

"Jadi semua ucapan mu pada hari itu adalah omong kosong belaka?"

"Bukan ... " Aku yakin bahwa apa yang ku ucapkan kepada Kita pada hari itu adalah hasil dari semua rasa yang ku pendam. Sama persis dengan tindakan spontan ku di saat aku menyatakan perasaan ku kepada 'Atsumu'.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang