xxxiii. the letter

133 29 3
                                    

Trigger Warning :
Mention of Suicide

***

"Dimana kau sering menyimpan benda bekasmu? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu kepadaku?" Pemuda di hadapanku menghela napasnya saat melihat ekspresi wajahku yang begitu serius. "Paling kau simpan di lemari meja belajarmu atau di atas lemari pakaianmu. Cari saja di sekitar sana."

Kita terlihat menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan pertanyaan yang ku lontarkan kepadanya lalu pergi menyusul Aran guna mendorong troli berisi belasan bola voli ke dalam gudang di sudut gymnasium.

Ia mungkin berpikir bahwa aku akan memporak-porandakan apartemenku dan mau tak mau ia harus ikut serta membereskannya.

Yang mana bisa jadi kenyataan, maka dari itu aku tak bisa menyalahkan reaksinya.

"Ada apa?" Osamu yang sedang menggulung net voli bertanya kepadaku yang setengah melamun.

"Tidak." Jawabku pelan. Menggelengkan kepala serta menyunggingkan senyuman tipis kepadanya. "Aku hanya ingin mencari ponselku yang lama."

"Oh. Ponsel lipat itu?"

Kali ini aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.

Osamu lantas berdiri bersamaan dengan Suna yang memegang sudut lain ujung net. "Senpai tak lupa dengan janji yang kita buat 'kan?"

Aku sempat menatapnya bingung sampai aku tersadar bahwa siang tadi setelah ia memberikan roti dan juga minuman kaleng untukk, ia mengajakku ke Dotonbori. Butuh waktu untuk menyadari bahwa ia sudah mengganti topik pembicaraan.

Aku yang mendapatinya kelihatan sangat ingin pergi berduaan denganku berakhir mengangguk. "Tentu, tapi kita harus membeli uwabaki baru untukku terlebih dahulu, oke?"

"Tak masalah." Osamu melemparkan sebuah cengiran ke arahku lalu beranjak sembari berbincang dengan Suna.

Aku mendengkus geli melihat reaksinya itu.  Yah, kami sudah cukup jarang menghabiskan waktu bersama akhir-akhir ini jadi tak ada salahnya aku meluangkan waktu untuk sekedar pergi makan malam dengannya.

Hitung-hitung sebagai kompensasi kepada Osamu karena aku begitu sibuk dengan urusanku sendiri.

Setelah beberapa menit menunggu seluruh anggota klub voli membersihkan gymnasium yang mereka pakai lalu berpisah di depan gerbang sekolah dengan mereka, akhirnya aku dan Osamu pergi ke area Dotonbori yang begitu ramai oleh lautan manusia.

Sebagian besar waktu dihabiskan untuk membeli dua pasang uwabaki dan juga pouch kecil untuk tempat sepatu seperti yang biasa Osamu bawa. Untuk brand dan juga warnanya, aku serahkan kepada Osamu yang jauh lebih paham dariku.

Maka tak heran, kami menghabiskan waktu begitu lama di beberapa toko karena Osamu begitu perfeksionis. Ia kelihatan begitu senang saat ku minta bantuan untuk hal sekecil itu.

Nantinya uwabaki cadangan itu akan ku simpan di loker milik Osamu di klub voli. Karena setelah berdiskusi dengan Osamu, kami sepakat di sana lah tempat yang paling aman.

Pelakunya tak mungkin menyelinap sampai ke sana. Sejauh yang aku tahu pun pintu klub voli di gembok setelah kejadian stalker ekstrim yang bersembunyi di salah satu loker anggota klub voli.

Setelah singgah di sebuah kedai ramen, fokus kami teralihkan kepada jajanan yang dijual di sepanjang jalan. Sejauh mataku memandang, hanya ada lampu neon yang terlihat menyala begitu terang dibawah papan reklame yang begitu unik serta stand takoyaki yang bertebaran.

Aku tentunya tak bisa mencicipi semua itu. Walaupun ada beberapa epipen yang selalu kubawa di dalam tas sekolahku, aku tak bisa mengambil resiko demi mengecap bagaimana rasanya Takoyaki yang baunya begitu menggoda itu.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang