xliii. cherry blossoms

166 16 5
                                    


Aku dipingit, layaknya pengantin baru. Atau mungkin lebih tepatnya aku dikurung seperti burung di dalam kandang dengan umpan berupa tumpukan novel yang memang sudah sedari dulu ada di dalam daftar bacaanku.

Shinsuke pasti mengambilnya dari apartemenku sesuai catatan yang aku tempelkan di dekat meja belajarku. Mengingat bagaimana pemuda itu cukup peka dengan hal kecil seperti ini.

Gara-gara jeritan Aya sore itu berhasil menarik perhatian Suna lalu dia mulai bercerita seperti ember bocor kepada Shinsuke dan Osamu yang awalnya tak menggubris jeritannya Aya mengingat gadis itu terkadang agak lebay, Shinsuke memutuskan bahwa aku harus pindah sementara ke rumahnya.

Yang mana keputusannya itu di dukung penuh oleh Osamu—dan juga Atsumu yang terlihat pucat begitu mendengar nama Marie disebut.

Aku bahkan tak ia biarkan pulang ke apartemenku dan alih-alih mengemas pakaianku sendiri, Shinsuke lah yang mengemaskan nya untukku.

"Ini peralatan mandimu, handuk, tas untuk pakaian sehari-hari, skincare, lalu ini pakaian dalammu."

Aku menatapnya dengan mulut menganga. "Aku benar-benar tak punya privasi denganmu huh?"

Shinsuke mengangkat alisnya sesaat lalu berdeham pelan, "Aku hanya mengambilnya asal dari lemarimu."

"Untuk diambil secara asal, ku akui kau punya mata yg bagus." timpalku seraya memeriksa bagaimana Shinsuke hanya memilihkan pakaian dalam dengan warna gelap, mungkin supaya tak tercampur dengan punya saudarinya.

Si pemuda berdeham pelan lalu beranjak pergi. Aku tersenyum miring ketika melihat sedikit semburat merah di ujung daun telinganya.

Menyambar barang-barangku yang sudah ia ambilkan, aku beranjak menuju kamar Nenek Yumie, karena tentu saja aku tak mungkin tidur bersama Shinsuke dikamar pemuda itu. Walau harus ku akui, kamarnya yang berada di lantai dua punya sirkulasi udara yang bagus dan memiliki AC.

Kamar Nenek Yumie hanya dilengkapi satu kipas kecil tapi aku takkan protes mengenai itu.

Lagipula tidur sembari memeluk Nenek Yumie adalah salah satu hal favoritku.

Aku tak punya ingatan mengenai Nenekku. Masih terkubur dalam hingga aku menyelesaikan semua masalahku ini dan kembali ke Kyoto. Tapi untuk hal yang tak aku ketahui, memeluk Nenek Yumie selalu memberikanku sebuah sensasi dimana aku merasa aman.

Dari semua masalahku, dari kalutnya pikiranku dan juga ancaman dari Marie.

Mungkin seperti ini lah rasanya saat memeluk mendiang Nenekku dulu.

Hanya itu yang terbersit di benakku untuk saat ini.

Osamu mengunjungiku dari waktu ke waktu. Terkadang hanya untuk mengajakku makan ice cream di Konbini atau menemaninya lari di sepanjang pinggiran sungai. Walaupun aku menggunakan sepeda untuk menyesuaikan lajuku dengannya sih. Adik Shinsuke berbaik hati meminjamkan sepedenya kepadaku.

Untuk beberapa saat aku juga sangat waspada dengan lingkungan sekitarku. Osamu dan yang lainnya jadi super duper protektif bahkan ketika latihannya sudah dimulai pun, ia masih menyempatkan waktu untuk menghubungiku. Begitu juga dengan Atsumu dan lainnya di grup chat kami yang baru-baru ini bertambah anggota baru yaitu Aya dan Rei. Semuanya sibuk menanyai bagaimana keadaanku.

Harus ku katakan, bahwa hal seperti ini tak lah begitu buruk. Punya banyak teman yang mengkhawatirkanku dan bisa ku andalkan. Andai saja dulu aku tak memilih untuk sengaja menghancurkan reputasiku sendiri, apakah semuanya akan jauh berbeda?

Aku hanya bisa tersenyum getir akan pikiranku sendiri.

Video call mulai menjadi rutinitas di antara ku dan Osamu. Ia mulai menelponku lagi di pagi hari, membangunkanku dengan suaranya yang tak serak karena summer camp mengharuskannya bangun dini hari untuk lari pagi.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang