xx. spray mums

438 98 22
                                    


Aku jujur tak mengetahui alasan sebenarnya di balik tindakan spontanku. Entah karena
mimpi yang baru saja membuatku menangis sambil tertawa parau atau firasatku yang seolah berkata bahwa aku harus berjalan-jalan sejenak di pelataran kuil demi menenangkan pikiranku.

Firasat yang gila memang.

Terutama di saat jarum jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari dan berkat pencahayaan yang minim, aku hanya bermodalkan cahaya dari ponselku yang tak bisa kulepaskan dari tanganku.

Aku tak munafik, aku masih menunggu kabar dari Osamu. Namun harga diriku yang entah mengapa begitu tinggi tak mau mengalah walaupun hanya sekedar bertanya alasan dibalik sikap cuek nya kepadaku.

Ku rasa pengaruh 'diriku' yang jauh lebih dewasa dari segi mental tak akan membiarkan bersikap kekanak-kanakkan walaupun sekedar mengirim satu pesan lagi kepada Osamu yang terlihat online di aplikasi pesan berwarna hijau yang sama-sama kami gunakan.

Aku menarik napas panjang sebelum menutup aplikasi yang hanya ku pandangi itu dan menekan icon flashlight dengan tak sabaran. Langkah ku yang awalnya lambat karena geta yang kukenakan langsung kupercepat.

Argh, masa bodoh dengan Osamu. Ingin sekali rasanya aku berteriak kepadanya karena rasa frustasi yang tak bisa ku kendalikan.

Aku telah memilihnya dari Kita dan sekarang ia malah membuatku terombang-ambing seperti ini? Bocah itu harus ku beri pelajaran.

Aku berhenti sejenak, mengamati paviliun yang ditempati Shou bersama Kita yang ku yakini berhasil ia bujuk untuk tak pulang bersama orang tuaku dan menghela napas lega saat melihat bahwa paviliun yang mereka tempati gelap gulita. Untuk sesaat aku aman dan tak akan ditangkap oleh mereka berdua.

Jujur saja, aku tahu jika Shou menangkap basah diriku berkeliaran tanpa pengawasan dan hanya mengenakan jubah putih yang ujungnya mulai kotor karena menyapu lantai ini, aku pasti akan ia ceramahi sampai bersujud meminta ampunannya. Apalagi ditambah dengan kombinasi omelan maut Kita, aku benar-benar bisa mati berdiri dibuat mereka berdua.

Kendati begitu, aku tak bisa menghentikan langkahku hingga aku mencapai Tori yang
berada di bagian pintu masuk menuju kuil. Peduli setan terhadap kakakku dan Kita, aku hanya ingin menghilangkan rasa gelisah yang menumpuk di dadaku.

Bercerita kepada mereka hanya akan membuat keadaan semakin runyam dan aku tak akan mendapatkan solusi yang aku inginkan.

Memandang Kyoto yang masih terlelap dan jalanan yang begitu sepi tak seperti Osaka yang terkadang tak mengenal kata tidur, aku hanya bisa memeluk badanku sembari
menghembuskan napas panjang.

Kapan aku bisa menikmati tidurku seperti dulu lagi?

Pertanyaan itu mulai hinggap di kepalaku.

Bagi 'diriku' yang mengalami kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang paling ku sayangi. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada tidur dan bermimpi tentang Osamu.

Walaupun hanya sesaat dan aku akan melupakan sebagian besar apa yang telah aku impikan.

Bagiku yang kala itu kerap tertidur setelah melihat dan memegang segala hal yang berhubungan dengannya, memimpikan Osamu adalah anugrah yang bisa aku dapatkan.

Karena aku sudah tak bisa memeluk raganya lagi, makanya aku memeluk erat sosok fananya di dalam mimpiku. Menuntaskan seluruh rasa rinduku dan kembali berharap, bahwa esok dan keesokan harinya, ia akan kembali menemuiku. Ia akan duduk bersamaku, tersenyum dan menghapus air mata yang mengalir di pipi ku yang semakin tirus.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang