xxv. a date in kyoto

226 47 3
                                    

Dompet berisi belasan ribu yen? Check.

Ponsel dengan persentase baterai diatas 80%? Aman.

Penampilan rapi dan terlihat pantas untuk berdiri di samping Osamu? Ini sih sudah pasti.

Selagi aku tak melakukan gerakan heboh, dandananku hari ini akan aman paripurna.

Jadi, step selanjutnya adalah mengunjungi Osamu yang harus segera bersiap-siap agar kami bisa meluncur ke area downtown dan mengisi perut yang sudah mulai memberontak ini.

Aku mengetuk pintu kamar di hadapanku sembari memanggil nama pemuda itu pelan dan dalam sekejap bisa mendengar balasan darinya.

"Masuk saja. Pintunya tak dikunci kok."

Berdeham sejenak, aku menggeser pintu dengan tangan kananku dalam gerakan yang cukup cepat. Terkesan agak terburu-buru. "Permisi. Oh, kau habis mandi?"

Aku melangkah masuk ke dalam kamar yang di tempati Osamu dan mendapatinya sedang mengeringkan rambutnya yang masih agak basah.

"Iya. Aku merasa agak gerah sejak tadi pagi sekalian aku ingin mencoba pemandian di kuil ini." Osamu mengusak rambutnya lagi. Tubuhnya yang dibalut yukata pria berwarna separuh coklat dan abu-abu terlihat begitu elegan.

Aku hanya ber-oh ria sembari berusaha menyibukkan diri melihat seisi kamar yang ia tempati sejak beberapa jam yang lalu.

Kendati begitu, sesekali aku melirik ke arahnya dan memberikan Koeda atau siapapun yang telah menyediakan kostum yukata untuk Osamu rentetetan kalimat pujian di dalam hati.

Ugh, sepertinya aku harus membelikannya pakaian seperti ini untuk ia pakai ke Festival Hanabi saat musim panas nanti atau jika dompetku tak memungkinkan, aku akan merayu Bunda Miya. Barangkali dia punya Yukata pria yang muat di badan Osamu selain yang suaminya punya.

Membayangkan sosok Osamu yang berjalan di sebelahku sambil melihat barisan kedai makanan yang menjual makanan khas festival seperti permen apel atau crepes saja sudah membuatku mabuk kepayang.

"Senpai?"

Geh. Suara Osamu menarikku ke realita lagi.

Berdeham pelan, aku menginstruksikan Osamu untuk menundukkan kepalanya. Ia menurutiku dengan begitu polos walau terlihat agak tak mengerti kenapa aku memintanya melakukan hal ini.

Tubuhnya baru rileks saat aku mengambil alih handuk yang ia pegang.

"Sayang sekali di kamar ini tak ada hairdryer haha." Aku tertawa agak canggung sembari memastikan ia tak menyadari bahwa aku melihatinya seperti singa yang kelaparan. Selain itu aku juga memperhatikan apakah ada air yang menetes dari rambutnya lagi atau tidak. "Tapi sepertinya angin dan matahari sudah cukup membantumu. Hari ini kita akan makan di luar."

"Berdua saja?"

"Dengan siapa lagi memangnya." Aku berkacak pinggang dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat. Handuk yang sebelumnya ku pegang tersangkut di bahu Osamu kali ini. "Ini adalah kencan, tentu saja kita harus berdua. Bahkan jika Shinsuke memaksa untuk ikut, aku akan menendangnya sejauh mungkin."

Bibir Osamu naik sedikit karena lelucon yang ku lontarkan kepadanya.

"Kalau begitu, sekalian kita singgah ke penginapan yang aku sewa. Ada yang ingin aku ambil sekalian meletakkan ranselku." Ia meletakkan handuk yang agak basah itu di atas meja seraya menyambar ponselnya dan ransel yang berisi pakaian kotornya. "Senpai tak keberatan mengambil jalan yang agak jauh bukan?"

Aku sih tak masalah asal berjalan di sebelahmu sembari bergandengan tangan. Begitu yang ingin ku katakan tapi yang keluar dari mulutku hanyalah kalimat singkat, "Tidak masalah."

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang