xxxiv. late night talk

198 28 1
                                    

"Kau harus beri tahu Osamu."

"Tapi—"

"Tak ada tapi-tapian. Mau sampai kapan kau akan menyembunyikan ini semua darinya? Dia juga berhak tahu bahwa sesuatu terjadi kepadamu hingga kau berpikir bahwa mati adalah solusi satu-satunya."

Jantungku bergemuruh, lidahku tak bisa menemukan kata-kata yang pas. Kita ada benarnya. Semuanya tak sesimpel 'Aku kembali ke masa lalu dan diberi kesempatan kedua untuk mencintai Osamu'.

Aku nyaris menghabisi nyawaku sendiri dengan persiapan yang sudah matang dan penyebabnya masih menjadi misteri.

Banyak yang membenciku di sekolah tapi ada juga yang menyayangiku. Jika teman sekelasku tak akan merasakan apapun maka setidaknya klub voli akan kehilangan seseorang yang dari waktu ke waktu datang mengunjungi gymnasium tempat mereka berlatih.

Seandainya pun mereka tak merasa sedih, masih ada Nenek Yumie dan keluarga Kita yang tak akan bisa menerima kematianku yang mendadak.

Dari semua orang, kakak dan orang tuaku lah yang akan paling terpukul hingga tak bisa menjalani kehidupan mereka dengan normal lagi.

Lalu kenapa?

Kenapa aku bisa memutuskan untuk melakukan hal 'itu' daripada melawan penyebab pastinya?

Apa yang sebenarnya aku alami hingga aku benar-benar di buat lupa oleh dewa-dewa yang menjagaku? Seolah hukuman yang mereka berikan adalah cara agar aku tetap selamat dan bertahan di dunia ini.

Namun jika menyangkut Osamu, aku masih belum bisa jujur kepada pemuda itu. Tidak di saat hubungan kami baru seumur jagung. Tidak disaat Shou belum bisa menafsirkan jurnal milik Kakek Buyutku. Jujur kepadanya adalah rintangan terbesar yang harus aku lalui.

"Kau tahu aku tak bisa—"

"Kupikir kalian tipe pasangan yang jujur pada satu sama lain."

Bibirku terkatup lagi. Kalimat negatif sebagai jawaban atas sindirannya menggantung di ujung lidahku.

"Shin, mengertilah. Sebentar lagi kalian akan mulai mengikuti ajang pertandingan Nasional. Hal sepele seperti i—"

Brak!

Kursi yang Kita duduki terjatuh dan dalam sekejap aku bisa merasakan tatapannya yang begitu tajam dan mematikan. Napasku tercekat saat menyadari bagaimana buruk suasana hatinya saat ini.

Jika tatapan bisa membunuh seseorang, maka aku sudah mati sekarang karena sorot matanya itu.

"Hal sepele? Bicara omong kosong seperti itu sekali lagi ku pastikan kau akan menyesalinya."

"... Maaf. " Cicitku setelah berhasil mengatasi cegukanku yang muncul akibat rasa takutku.

Namun Kita tak membalasnya. Ia beranjak pergi ke arah pintu dan hanya berhenti ketika ia meraih gagang pintu.

"Aku tak mau tahu, kau harus memberitahunya." Kita membuka pintu lalu membantingnya. Kata terakhir yang ia ucapkan sebelum ia menghilang dari pandanganku hanyalah satu.

"Semuanya."

***

Kita Shinsuke

"Tumben"

".... Ya?"

"Gelas itu, gelas favorit [Name]-chan, bukan?"

Kita yang setengah melamun sekembalinya dari apartemen [Name] lantas menoleh pada mug yang ia pegang di antara jemarinya saat ini. Mug berwarna abu-abu dengan gambar karakter Totoro itu memang milik [Name].

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang