"Jadi, bagaimana menurutmu?"Mataku mengerjap, kali ini aku sudah berada di tempat yang lain. Badan mengapung di atas air yang layaknya air lautan mati, tak bergerak seincipun dan menghadap ke atas, ke arah seorang perempuan yang tersenyum kepadaku.
Aku tak mengenalnya, terlihat begitu asing namun di saat bersamaan aku merasa familiar dengannya. Seolah aku memang pernah bertemu dengannya, mungkin dahulu kala. Deja vu, sepertinya ini lah istilah yang tepat untuk mengambarkan apa yang ku rasakan saat ini.
"Apanya?" balasan berhasil ku lontarkan yang serta merta membuat wanita itu tersenyum miring sembari menarik dirinya dan berpindah untuk duduk di sebelahku.
"Bukankah semua ini konyol? Miya Osamu dihukum hanya karena salah satu dewa tak menyukai keputusannya untuk bertukar identitas dengan saudaranya," Wanita itu berujar sembari tangannya bergerak membelai rambutku yang basah. "Namun aku tak bisa melakukan apa-apa walaupun harus menyaksikan kau terluka dalam kurun waktu yang lama bagi manusia."
Aku memandangnya kebingungan. Belum cukup aku melihat bagaimana menyedihkannya kehidupanku yang satu lagi, sekarang aku harus menyaksikan seorang wanita asing menangis sambil membelai rambutku.
Yang anehnya lagi, aku bahkan tak bisa bergerak. Ujung jariku saja bahkan tak bisa ku angkat. Aku hanya mengapung disini, mempertanyakan kenapa aku berakhir di antah berantah daripada siuman di ranjang rumah sakit. Seharusnya pertolongan di sana cukup ampuh.
Kecuali kalau aku sudah mati.
Namun mengingat aku tak menyebrangi sungai keramat itu. Seharusnya aku masih hidup.
".. Semuanya terulang lagi... [Name]... Touma... Shizune...."
Wanita itu menangis, suaranya menyayat hati namun aku terlalu bingung untuk bersimpati. Keselamatanku sudah diujung tanduk dan penyesalan kian menumpuk di hatiku.
Harusnya aku melalukan ini. Harusnya aku melakukan itu.
Namun semuanya tak berguna karena aku terperangkap disini dengan tubuh yang terasa lumpuh. Aku bahkan tak tahu kapan aku akan tersadar dari tempat ini.
"Harusnya kamu sudah hidup bahagia dengan Osamu. Seharusnya tugasku untuk menyatukan kalian sudah selesai. Tapi benang merah kalian menjadi kusut lagi dan aku tak punya pilihan selain mengubah kehidupanmu yang sekarang. Ah, aku terus gagal."
"Apa maksudmu?" tanyaku heran. "Gagal? kusut? tugasmu?"
Wanita itu perlahan menoleh kepadaku. Matanya putih seakan dia buta, rambutnya berwarna perak yang nyaris menyilaukan mata dan tangannya yang begitu dingin terus mengelus rambut serta wajahku seolah aku adalah anak kesayangannya.
"Seseorang pernah membuat permohonan kepadaku, agar ia selalu berjodoh denganmu. Sejujurnya, ia memang ditakdirkan seperti itu sedari awal. Tugasku adalah mewujudkannya. Namun, aku sendiri tak bisa mengontrol makhluk fana seperti kalian dan juga roda takdir. Rasa bersalahku karena tak bisa menyelamatkanmu dan orang-orang di sekitarmu karena dampaknya membuatku terus melanggar peraturan."
Jemari dinginnya membelai wajahku yang fokus menatapnya, menantikan kalimat demi kalimat yang masih belum ia utarakan.
"Aku mulai ikut campur dengan kehidupanmu. Menunggu kehidupan selanjutnya terdengar sangat melelahkan. Takkan ada jaminan kalian masih memiliki rupa yang sama. Maka dari itu aku mempengaruhi dirimu yang lain. Mencuri ingatanmu yang satu lagi. Kehidupan di semesta ini bukan cuma satu, para dewa tahu itu karena menonton makhluk fana adalah hobi mereka. Pun mencari kesalahan adalah hiburan bagi mereka."
"Jadi maksudmu—"
"Ya, aku mempengaruhi setiap kehidupanmu. Aku mengulangnya dari awal setiap ada kesalahan dan perlahan aku kehilangan kekuatanku karena terus mengulang waktu. Tak ada cara lain, bahkan dirimu yang satu lagi tak luput dari amarah dewa. Mereka tak akan memaafkan Osamu hanya karena dia remaja naif yang menukar identitasnya. Mereka juga telah memberiku hukuman setiap kali aku mencoba ikut campur."
KAMU SEDANG MEMBACA
hiraeth - miya osamu
Fanfiction6 tahun berpacaran dengan Miya Atsumu, [Full Name] tak pernah mengetahui bahwa pria yang ia kencani bukanlah Atsumu melainkan kembarannya, Miya Osamu. [Name] bahkan baru tahu kebenarannya ketika Atsumu berbicara kepadanya dan menyerahkan surat-surat...