xxxviii. her diary

117 24 0
                                    


Atsumu pulang tepat waktu ketika aku dan anggota keluarga Miya yang lainnya mengambil posisi masing-masing di ruang makan. Aku duduk di apit Bunda Miya dan Osamu. Sedangkan Atsumu duduk di seberangku berdekatan dengan Ayahnya, matanya terlihat berbinar menatap hidangan daging yang sudah dimasak Bundanya.

Ternyata dia ikut membawa Suna yang katanya sedang rindu dengan masakan Bunda Miya. Yah aku tak bisa menyindir Suna yang suka menumpang makan di rumah si kembar sih, terlebih setelah menikmati masakannya Bunda Miya. Baik di memori diriku yang satu lagi dan sekarang, ia selalu hebat dalam urusan dapur.

Mungkin karena sudah lama tak merasakan suasana ramai seperti saat ini, Bunda Miya terlihat begitu bahagia terutama ketika setelah selesai makan dan aku membantunya membereskan piring-piring kotor ke wastafel.

Tentu saja aku bersikeras hingga kedua orang tua si kembar hanya bisa menganggukkan kepala mereka dengan pasrah.

Aku setidaknya harus melakukan ini biar merasa lebih tenang dan impas atas perlakuan baik mereka kepadaku.

Bunda Miya terus memelukku dari belakang selagi aku mengelap piring yang sudah ia cuci dan meminta agar aku menginap di rumahnya.

"Mereka bisa tidur di kamar tamu, para lelaki itu. Atau nanti Bunda minta Ayah keluarkan futon cadangan saja untuk Rintarou. [Name] tidur bareng Bunda aja ya? Kemarin saat ke Mall, Bunda nemu piyama yang lucu jadi Bunda beliin untuk [Name] sekalian."

Aku baru saja ingin membuka mulutku saat Osamu datang untuk meletakkan sisa gelas kotor ke dalam wastafel dan menarikku dari Bundanya. "Besok Senin loh, Bun."

"Libur sekali tak masalah." Atensi Bunda Miya kembali kepadaku. Matanya mengerling, menghasilkan tawa dari bibirku. "Iya kan, sayang?"

Aku terkekeh dengan jawaban Bunda Miya yang berhasil membuat Osamu menarik napas dalam-dalam. "Lain kali saja, Bunda. Saat libur musim panas nanti akan aku usahakan untuk menginap di sini selagi Osamu dan Atsumu pergi ke camp pelatihan. Lalu, terima kasih untuk piyamanya. Aku yakin pilihan Bunda pasti tak pernah salah."

Bunda Miya memanyunkan bibirnya lalu kembali memelukku, serta merta mengabaikan Osamu yang terus menarik lenganku.

Aku tak tahu kenapa tapi Osamu begitu cemburu pada Bundanya sendiri. Seolah ada kompetisi kecil di antara mereka.

Setelah belasan menit membujuk Bunda Miya, akhirnya Osamu berhasil mengantarku pulang menuju apartemenku.

Sedangkan Suna masih betah menonton film dari cd yang ia rental bersama Atsumu di ruang tamu. Mereka bahkan tak sadar bahwa aku memanggil mereka untuk berpamitan.

Dalam perjalanan pulang, aku terus menatap Osamu yang menggenggam tanganku erat. Diary milikku kupegang dengan tangan kiriku. Entah kenapa terasa begitu berat seolah aku bisa merasakan beban dari tulisan yang berada di dalamnya.

Aku benar-benar tak bisa memahami kenapa diaryku berada di tangan Hiroto. Padahal aku sudah putus dengannya jauh hari. Di saat kami bertemu pun ia sama sekali tak menyinggung bahwa aku menitipkan diary ini kepadanya.

Pesan yang ku kirimkan pada Hiroto sebelum makan malam di mulai, menanyakan kenapa ia tak berpamitan hanya ia balas dengan satu pesan singkat.

"Aku tak membaca isi diary mu."

Sungguh luar di konteks dan membuatku semakin penasaran tentang apa yang diriku dulu lakukan.

Apa aku sengaja menitipkan diary ku kepada Hiroto karena aku tahu ia bukanlah tipe yang penasaran dengan privasi orang lain?

Selain itu, mulai terbersit di otakku.

Apakah sudah saatnya Osamu mengetahui seluruh rahasiaku?

Juga tentang bagaimana sulitnya aku menjalani kehidupan sehari-hari karena aku punya ingatan akan dua kehidupan yang berbeda?

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang