ii. warm

1.4K 279 21
                                    


Aku terbangun dengan napas yang memburu seolah baru saja selesai lari marathon. Keringat mengalir dari pelipis dan leherku, air mata bahkan masih mengalir di wajahku. Aku mengusap wajahku canggung dengan tangan yang gemetar, sama sekali tak bisa menghentikan laju air mataku.

Aku tak pernah menyangka ini. Tepat ketika biksu itu menjawab pertanyaanku, aku mendadak kehilangan kesadaran ku. Semua memori ku bersama Osamu terputar secara otomatis—menyebabkan aku menangis dan boom, aku terbangun dari tidurku.

Tak cukup dengan itu, aku tiba-tiba dihadapkan dengan Osamu yang masih mengenakan baju seragam klub volinya. Raut wajahnya cemas, tangannya menggantung di udara. Tak yakin untuk menyentuhku atau sekedar mengusap punggung ku. Alih-alih, ia bersuara dengan keras dan ada nada takut disana.

"[Last Name]-senpai, aku akan memukul Tsumu sialan itu karena spike nya sudah mendarat di kepalamu tapi kumohon jangan menangis, Kita-san akan mengamuk nanti!"

Takut dimarahi oleh Kita yang bisa berubah menjadi singa lapar jika aku terluka.

Ah, dia terlalu takut dimarahi oleh Kita yang bisa berubah menjadi singa lapar jika aku terluka. Memang, dalam kasus langka—apalagi berhubungan denganku— Kita akan menaikkan nada suaranya dan ekspresi wajahnya berubah drastis. Sangat mengerikan karena aku sendiri hanya pernah melihatnya beberapa kali dalam hitungan 10 tahun terakhir.

Rasa sakit yang kurasakan dikepala ku, akibat spike Atsumu yang salah sasaran tidaklah lebih sakit— malahan sudah menghilang— daripada yang aku rasakan di dadaku.

Bukan, bukan karena disakiti. Hanya saja, aku pikir dewa tengah mempermainkan ku dan mempertemukan ku dengan Osamu yang beberapa hari terakhir mengisi penuh otakku.

Selama kurun waktu itu lah aku bertingkah seolah Osamu masih hidup. Setiap kali pintu rumah ku terbuka, aku akan mengatakan, "Okaeri, Samu." atau bercerita dengan antuasias ketika makan malam bersama. Hanya untuk mendapati bahwa Kita atau Atsumu lah yang duduk di hadapanku. Dengan tatapan iba di mata mereka.

Jika Kita dan Atsumu tak mengunjungi ku setiap harinya dan mengurusku, aku mungkin sudah gila. Aku mungkin tak akan bisa duduk tenang sembari memeluk guci berisi abu Osamu.

Namun saat ini, pada detik ini, Osamu duduk di sebelah ranjangku. Bibirnya bergerak, suaranya bisa kudengar, matanya menunjukkan bahwa ia khawatir dan bau parfum yang selalu ia gunakan merangsek ke dalam indra penciumanku.

Mustahil jika aku tak menangis.

Aku mengabaikan Kita yang baru sampai ke UKS dan memeluk Osamu dengan erat. Menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya, mencengkram punggungnya dan menangis lagi.

Layaknya anak kecil disaat mainannya direbut.

Aku tak bisa berkata-kata, semuanya akan terdengar aneh karena mereka tak akan mengerti apa yang telah kujalani.

Merasakan kulit dan hangatnya tubuh Osamu di balik telapak tanganku saja sudah cukup. Tangannya yang menepuk punggung ku dengan canggung karena ini adalah skinship pertama yang kami lakukan membuatku semakin menangis.

Jika ada satu kalimat yang ingin kukatakan saat ini, maka itu adalah ungkapan betapa aku merindukannya.

Aku sangat merindukanmu, Osamu.

Sangat.

***

"Sepertinya spike Atsumu barusan benar-benar merusak sirkuit di kepala [Last Name]-senpai. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menyaksikan bagaimana [Last Name]-senpai yang sangat sangar itu menangis layaknya anak kecil." Ginjima berkata sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih tak bisa melupakan pemandangan yang telah ia lihat saat ingin memeriksa keadaan senpai nya itu.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang