xviii. ambrosia

774 135 101
                                    


Rasanya, aku hampir menjadi gila.

Berbahagia lah, katanya?

Omong kosong. Aku yang sekarang tak bisa terus tertawa hanya karena aku ditakdirkan dengan Kita di saat aku sudah mengacaukan segalanya.

Memang, Kita adalah lelaki terbaik yang bisa ku dapatkan. Dia adalah pekerja keras dan peduli pada orang sekitarnya, tak kan ada kejadian dimana aku dibiarkan kelaparan jika aku menjadi pasangan hidupnya ataupun ia telantarkan.

Namun selama satu minggu terakhir, aku terus berpikir bahwa Osamu adalah pasangan hidupku, maka dari itu aku melakukan segala cara untuk mendapatkan perhatiannya. Yang mana berakhir dengan sukses selama beberapa hari terakhir.

Hubungan kami berjalan begitu baik, dalam hitungan hari ia pasti akan menyatakan perasaannya kepadaku.

Namun jika apa yang Shou ucapkan benar, artinya semua usahaku tak berarti.

Aku hanya menambah masalahku sendiri. Benang yang kukira mulai lepas dari ikatannya ternyata malah semakin kusut.

Aku melayangkan tanganku, melempar gelas yang masih berisi sisa teh yang terasa begitu pahit di tenggorokanku hingga air nya berserakan di atas lantai tatami. Napasku memburu, semua emosiku bercampur aduk dan pada akhirnya aku hanya bisa meredam amarahku dengan tangisanku.

Semua percakapan ku dengan Shou, aku harap aku tak pernah mendengarnya. Kenyataan memang selalu berat diterima, tak peduli seberapa tua dirimu. Dan aku mulai menyadari itu.

Aku pikir aku sudah siap untuk menemukan semua jawaban yang selama ini ku cari. Naif sekali. Ternyata aku tidak benar-benar siap.

Faktanya, aku tak memiliki usia mental seperti yang sebelumnya aku pikirkan. Aku masih remaja tanggung yang baru saja menginjak umur 18 tahun beberapa minggu yang lalu. Memang hal wajar jika aku begitu terpukul setelah Shou mengutarakan semua hal yang ia ketahui secara membabi buta kepadaku.

Kendati begitu, tak bisakah dia mengatakan segalanya dengan frasa yang lebih baik dan memperhitungkan perasaan ku? Sebegitu besarnya kah ke berpihakan Shou kepada Kita hingga ia tak peduli dengan perasaan adiknya sendiri?

Tak kah dia sadar bahwa bagiku, memori itu terlalu nyata? Hingga rasa sakit yang kurasakan masih bisa ku reka sampai detik ini. Cukup untuk membuatku trauma atas segalanya dan tak ingin mendengar kabar kematian Osamu lagi.

Air mata ku yang mengucur setelah Shou pergi keluar dari ruangan yang aku tempati mulai membasahi pakaian miko yang berada di atas pahaku. Ia memberikan ku kostum ini untuk ku pakai selagi berkeliling area kuil tapi dalam hatiku, kostum ini hanya membuatku semakin membenci para dewa yang telah membuatku merasa sehancur ini.

Rasa sesak di dadaku dan kata-kata yang ingin ku ucapkan kepada Shou hanya bisa menggantung di ujung lidahku. Aku ingin ia tak memberitahuku segalanya tapi, jika aku mengetahui segalanya lebih lambat, apa itu benar-benar adalah opsi yang baik?

Aku sadar bahwa saat ini aku mencoba untuk menjadi denial lagi. Sama seperti saat aku menyadari bahwa Osamu telah meninggal dan ketika Atsumu memberikan surat yang telah Osamu tulis untukku.

Aku bisa bertahan hingga detik ini karena eksistensi nya yang masih bisa aku peluk jika aku menemuinua. Andai aku tak bisa mengontrol diriku untuk tetap waras barang satu hari saja, aku pastinya tak akan bisa bertahan.

Tapi hari ini ... Osamu tak berada di sisi ku.

Sosoknya tak bisa ku gapai dan ku sentuh.

Obat penenangku tak ada dalam jangkauan ku dan aku hanya bisa terpuruk dalam kegelapan tak berdasar.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang