xxi. 愛

593 87 9
                                    

Ada banyak kalimat yang ingin aku utarakan kepada Osamu. Tentang bagaimana ia akan terluka jika memilih untuk bersama seseorang yang bahkan belum ia ketahui bisa mencintainya kembali. Tentang bagaimana ia akan merasa dibohongi karena aku tak akan bisa memberitahunya alasan dibalik semua perubahan sikapku. Atau kenyataan bahwa ia masih akan dibayang-bayangi oleh Kita yang terlihat tak akan melepasakan ku.

Tapi, setelah aku pikir-pikir kembali, apa benar itu satu-satunya cara? Apa berjuang sendiri adalah cara paling mutlak di situasi seperti ini?

Jika ku ceritakan kepada Osamu apa saja yang aku lalui hingga berhasil berdiri seperti ini di harapannya, ekspresi macam apa yang akan ia tunjukkan? Apakah ia akan marah, kesal atau malah mau membantuku.

Jujur, aku penasaran.

Kendati begitu, aku tak bisa blak-blakkan secara sepenuhnya jadi aku akan mencoba memberitahunya secara bertahap.

"Jujur, timing nya terlalu cepat Osamu. Padahal masih banyak yang ingin aku urus."

Aku berujar kepada Osamu yang tertegun dengan reaksi yang ku tunjukkan. Memang, aku seharusnya tak membicarakan hal seperti ini di saat ia menyatakan perasaannya. Ini bukanlah jawaban yang ingin ia dengar dariku.

Ya atau tidak. Osamu hanya ingin mendengar jawaban sesimpel itu.

Tetapi efek dari mimpi yang ku lihat malam ini membuatku menyadari bahwa ada banyak hal yang harus ku perbaiki. Semuanya harus dilakukan satu persatu sampai tuntas.

Step by step. Mulai dari Hiroto. Semuanya akan dimulai ketika aku kembali ke Osaka.

"Kau akan terluka jika memilih jalan ini. Tidakkah kau tahu bahwa hubungan ku sebelumnya tak bertahan lama?" Aku melepaskan tangan Osamu yang berada di sisi wajahku. Ini hanyalah tebakan semata tapi dari mata Osamu, aku telah mendapatkan jawabanku. Bahwa satu hal mengenai berapa lama aku berpacaran di dimensi ini tak berbeda dengan dimensi satu lagi.

"Tapi jika kau bertanya padaku saat ini, apakah aku menyukaimu juga atau tidak. Maka jawabannya adalah, ya. Aku juga menyukaimu."

Jemari nya yang ku genggam terasa gemetar di bawah sentuhanku. Entah menahan amarah atau terluka karena ucapanku. Namun tak bisa menutupi bahwa aku merasa lega ketika menyadari bahwa tangan nya mulai terasa hangat dan nyaman untuk ku pegang.

Tak sedingin jemari yang saat itu aku pegang di rumah sakit.

Dan perasaanku saat ini bisa dibilang jauh lebih baik daripada saat aku menggenggam jari yang terlihat pucat itu.

"Lalu-"

"Maka dari itu," aku menyatukan jemariku dengannya sembari mengulas sebuah senyuman tipis. "Tunggu aku."

"Kenapa?" Osamu terlihat tak mengerti dengan semua omonganku. "Aku memang bilang bahwa aku akan menunggumu, tapi bukan seperti ini Senpai. Senpai menyukaiku juga, lalu apa alasanmu menjauhiku lagi?"

"Bukankah menurutmu aneh? Dalam kurun waktu yang singkat aku secara tiba-tiba mencurahi seluruh perhatian ku kepadamu dan bersikap seolah tak ada masalah di antaraku dengan Shinsuke?"

Ia tak langsung menjawab. Osamu berkali-kali menghela napasnya seperti tak sanggup untuk menjawab pertanyaanku yang satu itu.

"Aku yang sebelumnya terlalu terpaku kepada Shinsuke. Kemana pun dia pergi aku pasti ada. Aku sudah seperti bayi itik yang mengikuti induknya."

"Ya, kami sadar akan hal itu. Semuanya sadar akan perasaan yang kau punya kepadanya."

"Lalu, kenapa kau tidak menyerah dengan perasaanmu?"

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang