xli. cyclamen

140 16 3
                                    

"Latihanmu benar-benar sudah selesai?"

"Iya, dan hari ini giliran Atsumu yang bersih-bersih jadi aku bisa keluar dari sekolah lebih cepat."

"Baguslah."

"Umm.. "

"Kenapa?"

"Shoutaro-san yakin tak ingin menemui [Name]-senpai terlebih dahulu?"

Shoutaro yang sudah memimpin jalan di depan Osamu seketika berhenti. Kepalanya ia tolehkan ke arah Osamu yang menatapnya kebingungan.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Itu... " Osamu menarik napasnya sejenak lalu perlahan menggelengkan kepalanya. "Aku rasa ia belum bercerita huh?"

"Tentang?"

"Meminta pendapat Shoutaro-san untuk suatu hal yang urgent."

Shoutaro menelengkan kepalanya, tak bisa mengerti apa yang remaja tanggung di belakangnya itu gumamkan.

Mulutnya bergerak seiring tangannya menepuk pundak si pemuda. "Jika memang urgent, dia pasti akan segera menghubungiku. Namun jika ia menundanya seperti ini, berarti ada hal lain yang ia prioritaskan saat ini. Tak usah terlalu dipikirkan."

Shoutaro kembali melangkah setelah ia melihat raut wajah Osamu berubah, menganggap bahwa pemuda itu sudah paham dengan apa yang ia ucapkan. Sesaat hanya hening yang mengudara sampai akhirnya ia bersuara lagi.

"Lagipula aku tak ingin segera menemui [Name]. Ia pun pasti merasakan hal yang sama. Makanya aku sengaja menunda kedatanganku hingga malam nanti."

"Boleh ku tahu alasannya?"

"Kami akan bertengkar." Shoutaro sekali lagi menoleh pada lawan bicaranya. "Karena ia akan selalu memihakmu."

Langkah kaki Osamu nyaris tertahan seolah ia tersandung kerikil kecil di jalan. Namun ia buru-buru mengikuti Shoutaro yang sudah memasuki sebuah restoran keluarga dan mendapati Koeda sudah duduk di salah satu meja yang sepertinya sudah di reservasi untuk mereka bertiga.

Osamu tak kaget melihat keberadaan Koeda dan mengapa Shoutaro langsung saja masuk ke dalam restoran tanpa aba-aba, mengingat pria di depannya itu sudah menanyakan kepadanya apakah ia ingin makan sushi atau di restoran dan berhubung dirinya sedang sangat ingin makan tonkatsu setelah latihan yang menguras staminanya, Osamu memilih pilihan terakhir.

"Oh," Shoutaro berkata ketika ia berhasil mendaratkan pantatnya di atas kursi yang berada di sebelah Koeda. "Aku tak dendam ataupun memandang buruk tentang dirimu. Tenang saja."

Osamu tak menjawab dengan sepatah kata pun, ia hanya mengangguk pelan. Toh ia sendiri tahu, bagaimana kerasnya Shoutaro padanya di Kyoto dulu. Tentu saja masih akan sulit untuk mendapatkan 'restu' darinya. Bertahun-tahun mungkin adalah waktu yang ideal untuk membuktikan bahwa ia tak main-main dengan perasaannya pada [Name].

Jika ia berkata seperti itu sekarang, Shoutaro pasti menepisnya sebagai ucapan remaja yang sedang dimabuk asmara.

"Tak usah pikirkan dia. Dia sebenarnya sedang khawatir bahwa adiknya akan membentaknya lagi." Koeda menyahut, jari menunjuk pada Shoutaro yang terlihat menggerutu.

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang