xxxix. more than enough

127 21 4
                                    


Osamu adalah orang pertama yang berhasil menenangkan dirinya dan memutuskan untuk memanggil Shinsuke lewat ponselnya. Selalu begitu. Karena Osamu tak pernah membiarkan dirinya larut dalam kesedihan tak berujung. Ia tahu ia harus bangkit secepatnya dan mencari solusi bagi kami berdua.

Beda denganku yang kembali menangis hebat di pangkuannya karena untuk pertama kalinya ia memanggilku dengan namaku. Bukan tanpa embel-embel formalitas seperti yang biasa ia lakukan.

Kebiasaan Osamu yang bicara blak-blakkan nyaris membuat jantungku keluar dari rusukku namun aku paham apa yang ia rasakan. Karena aku juga nyaris gila saat Osamu yang lain meninggal.

Shinsuke datang dengan cepat begitu ia mendengar suaraku yang masih terisak saat Osamu berbicara dengannya lewat ponsel. Dari penjelasan Osamu yang seadanya lewat ponsel, ia pasti mengira sesuatu terjadi kepadaku.

Aku tak menyalahkan Osamu atas keputusannya untuk memanggil Shinsuke yang sejujurnya begitu tepat berhubung kami berdua terlalu kacau untuk berpikir solusinya saat ini.

Dan pemuda dengan rambut dwiwarna itu adalah orang yang sangat tepat untuk dimintai saran. Ia dan logikanya adalah kombo yang tak pernah salah.

"Apa ini tentang hal 'itu'?" Shinsuke bertanya sembari mengulurkanku kotak tisu guna mengelap wajahku yang basah karena air mata dan juga ingus yang sedari tadi susah ku tahan. Kali ini sudah duduk di sebelah Osamu walau wajah masih terlihat nyaris bengkak karena kebanyakan menangis.

"Tidak." jawabku pelan, tanganku berusaha menyeka baju Osamu yang ikutan basah. Perlahan kesadaran mulai kembali ke diriku, seberapa keras aku menangis di pelukan Osamu tadi? Bajunya begitu basah ia harus ganti baju saat ini juga. "Osamu, tunggu sebentar, biar ku ambilkan jaketmu yang kau pinjamkan kepadaku."

"Tak usah, ada hal yang lebih penting, bukan?" Osamu menahan tanganku, atensinya beralih pada Shinsuke yang menyeret kursi dari dapur untuk bergabung dengan kami. "Apa yang Kita-san maksud dengan 'itu'?"

Yang ditanya malah bertukar pandangan denganku. Sesaat Kita seolah menyuruhku untuk berbicara namun aku menggeleng dengan kuat.

Tidak, tidak untuk saat ini. Aku memang berniat akan menceritakan segalanya tapi aku tak yakin Osamu mampu mengatasi hal tak masuk akal yang akan ku ceritakan kepadanya. Tidak di saat otaknya baru saja mencerna fakta bahwa aku merencanakan kematianku sendiri.

"Nanti saja, biar [Name] yang cerita langsung kepadamu. Aku lebih ingin tahu alasan kenapa kau memanggilku ke sini. Pasti ada alasan yang besar. Apa itu karena buku yang terjatuh di dekat kaki [Name]?"

Osamu menarik napasnya terlihat pasrah dan mengesampingkan rasa penasarannya. Ia mengangguk lalu mengambil diary ku yang kami biarkan saja di atas lantai dan melirik ke arahku seolah meminta persetujuan.

"Berikan saja." jawabku. "Diary itu memang ditujukan kepadanya."

Shinsuke menerima diaryku dengan tatapan bingung dan ketika ia mulai membaca halaman demi halaman, wajahnya semakin pucat. Aku termangu, baru kali ini aku melihat rasa takut yang teramat dalam terpatri di wajah seorang Kita Shinsuke. Lebih parah daripada saat kami bertengkar di paviliun kuil di Kyoto dulu.

Ia membaca dengan jemari yang terlihat gemetar sedikit, sesekali terhenti lalu kembali membalikkan kertas dengan jemarinya hingga halaman terakhir.

Saat ia menutup diary itu, aku bisa merasakan bagaimana ia sulit membawa dirinya untuk berbicara. Matanya terpejam seakan mencari kalimat yang tepat untuk dikatakan.

".... Kita kesampingkan urusan mengembalikan ingatanmu. Prioritas kita saat ini hanyalah satu." Shinsuke menarik napasnya, netranya menatapku dalam-dalam. "Kau punya clue tentang siapa perempuan yang kau maksud di diary mu ini? Karena dari yang ku pahami, ia adalah alasan terbesar kenapa kau menjauh dari semua orang dan memilih opsi yang ekstrim."

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang