xxxvii. takane no hana

112 17 1
                                    

"Kau tahu apa yang para siswa katakan tentangmu? [Name] itu seperti bunga di atas puncak tebing. Indah tapi tak tergapai." Reiko menjelaskan sembari menggoyangkan Matcha Frappuccino yang ia pesan, lagaknya seperti membaca sebaris puisi yang penuh makna. "Kau bisa mengencaninya, tapi tak bisa mendapatkan hatinya. Begitu."

Serta merta menghasilkan gelak tawa dari bibirku dan Aya yang sedang bersamanya.

"Itu berlebihan." Aku menimpali sembari mengambil cup minuman rasa peach yoghurt dari atas meja. Rekomendasi dari Aya karena ini pertama kalinya aku ke Starbucks.

Ya, aku memutuskan untuk berteman dengan mereka setelah mendengarkan saran dari Osamu. Hasilnya, aku langsung diajak hangout oleh Aya yang terlampau excited.

Berhubung hari ini adalah hari minggu dan aku tak ada kegiatan khusus menjelang sore nanti, mereka mengajakku menghabiskan waktu layaknya remaja gadis seusia kami.

Starbucks menjadi pilihan utama Aya dan aku serta Reiko menurutinya tanpa protes.

Aku sebenarnya tak ingin membahas hal berat bersama mereka berdua hari ini. Namun ketika mereka menyinggung kedatangan Marie ke gymnasium yang entah kenapa bisa mereka ketahui, aku menganggapnya sebagai kesempatan untuk mengetahui siapa identitas gadis itu sebenarnya.

"Yang jelas, Marie itu sebaliknya. Dia adalah bunga mawar di kebun Inarizaki. Terlihat begitu mencolok dan mudah kau gapai karena berada di dekat garis jangkauanmu."

"Dengan resiko tanganmu akan terluka karena durinya." sambung Aya yang masih sibuk mencari angle bagus untuk foto minuman rasa red velvet yang ia pesan.

"Nama depannya Marie?" tanyaku pada Reiko.

"Ya, Suzu nama keluarganya."

"Tapi di sekolah banyak yang memanggilnya Maria." tambah Aya, ia bertukar pandang dengan Reiko yang langsung menunjukkan senyuman mengejek. "Karena katanya dia penuh sifat keibuan yang lembut dan mengayomi seperti Bunda Maria."

Reiko dan aku tergelak. Panggilan seperti itu sangatlah jauh dari sifatnya yang asli. Aku takjub dengan tekadnya untuk mempertahankan image nya di hadapan murid yang lain sedangkan ketika bersamaku, Marie sama sekali tak menahan dirinya.

Bahkan sampai saat ini aku masih bisa merasakan betapa agresifnya dia saat bertemu denganku. Rasa benci menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah bahkan ucapannya saja penuh racun.

Reiko kembali berujar, tangannya menari dengan cepat di atas layar ponselnya. Kemungkinan sedang membalas pesan Aran. "Simpelnya dia punya inferiority complex kepadamu. Aku tak tahu kapan itu bermula karena tak pernah menanyakannya secara langsung. Tapi aku tersadar saat ia mulai menirumu. Dia itu ingin sepertimu. Cantik, punya otak yang cerdas dan dikelilingi laki-laki."

"Dia juga cantik tuh, walau dia aneh. Katamu dia Ketua Osis angkatan kita sejak tahun lalu 'kan?" Aku menelengkan kepalaku, semakin banyak yang ku ketahui, semakin heran diriku dengan tingkah Marie. "Menurutku dia punya pesonanya sendiri. Kenapa harus meniruku?"

Reiko menggelengkan kepalanya. "Tsk tsk [Name], kau akan tak pernah bisa memahami pikiran orang gila."

Aku menghela napasku, tangan kembali meletakkan minuman yang ku pegang ke atas meja. "Apa itu masuk akal? Meniru seseorang yang bahkan tak kenal baik denganmu? Memangnya apa yang akan ia dapat dari itu?"

"Menurut [Name]-chan hal seperti itu akan menghentikannya?" Aya menyambar berapi-api bahkan terlihat dari sorot matanya saat ini. "Dia pick me dari segala pick me. Jika itu artinya dia jadi pusat perhatian, why not?  Yang jelas, semua orang yang sudah tahu sifat aslinya kebanyakan memilih bungkam."

hiraeth - miya osamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang