Lain hal nya dengan Shaka yang tengah menyendiri di taman rumah sakit, kini keluarga Narendra itu tengah asik tertawa karena celoteh si bungsu yang tadi berhasil membuat suster yang menjaganya kesal setengah mati.
"Abis itu, si susternya udah pasrah aja, aku tambah ketawain deh. Habisnya komuk si suster gk di kondisikan banget sih." Ayah dan bunda lagi-lagi terkekeh.
"Ada ada aja kamu dek." Ucap bunda pelan, kemudian mengusak surai hitam dan lembut milik si bungsu dari tiga kembar itu.
"Ah ya, bang."
"Apa, hm? Mau apa?"
"Lo ke sini nya sendiri?" Tanya Rafka yang jujur saja baru sadar kalau ia tak menemukan Shaka di ruangan nya.
Pertanyaan Rafka tadi, berhasil membuat Rafa merasa bodoh, pasti kembaran nya yang satu itu tengah merajuk saat ini.
"Loh ya? Iya ya, abang ke sini gak barang Shaka?" Itu Ayah nya yang bertanya.
"Eungh, itu tadi perginya bareng, cuman gak tau sekarang anaknya ke mana. Tapi tenang, ini Rafa otw cari anaknya kok, dadah!" Ujar Rafa cepat, kemudian langsung berlari keluar dari ruang inap milik adiknya.
"Ish, kok lo bego banget si Raf, lo yang maksa dia, tapi malah lo biarin dia pas nyampe, dasar!" Gerutu Rafa yang terus merutuki kebodohan nya itu. Dan sekarang pikirannya hanya tertuju kepada Shaka, ia takut adiknya itu nekat pulang sendiri. Walaupun tak ada yang perlu ia khawatir kan sebenarnya.
Rafa terus berjalan, berharap ia menemukan kembarannya itu.
Sedangkan di taman rumah sakit, Shaka masih terus memejamkan matanya, menikmati setiap hembusan angin yang menerpa kulitnya. Malam ini, cuaca sedikit tak bersahabat, terlihat dari bagaimana bulan dan bintang enggan menampakkan dirinya, di tambah sejak sore tadi, germis juga turun, walau hanya sebentar. Tapi Shaka tau, pasti sedikit lagi hujan akan turun untuk mengguyur bumi pertiwi malam itu.
Tes
Tes
Benar saja dugaan Shaka hujan mulai turun, yang awalnya hanya gerimis kecil, berubah menjadi hujan yang sangat deras, tapi hal itu sama sekali tak mengusik Shaka sedikitpun. Cowok itu masih saja hanyut dalam pikirannya.
"Ka, Kamu itu yang di tengah, harusnya bisa ngertiin abang dan adekmu."
"Shaka anak bunda, Shaka mau kan gantiin adek ke sekolah. Adek kan masih di rawat."
"Ka, Kamu harusnya tahu, imun kamu yang paling bagus di antara abang dan adekmu, jadi kali ini kamu ngalah dulu ya. Abang lagi demam, kamu yang ke sekolahnya abang ya."
"Ini kenapa nilai kamu jadi turun gini?! Ayah kan sudah bilang jangan sampai nilai kamu rendah kayak gini. Karena kamu bukan cuman ngerjain punya kamu, tapi punya abang kamu juga."
"Assalamualaikum, maaf yah, Shaka pulang kemalaman banget, jadi takut kalau ayah khawatir."
"Wa'alaikumsalam, iya sana istrahat aja."
"Bundaa! Shaka mau dong di suapin bunda, kan jarang lho Shaka minta di suapin sama bunda."
"Aduh sayang, maaf yaa, ini adek kamu juga minta di suapin sama bunda. Nanti lain kali aja ya, nak."
"Shaka harus bisa ngalah."
"Shaka gak boleh ya, iri sama abang atau adek."
"Shaka itu juga kesayangan ayah bunda. Tapi Shaka paham kan, ayah bunda juga gini buat saudara-saudara kamu."
Shaka membuka matanya perlahan. Pusing, itu yang ia rasakan. Tapi Shaka masih belum ingin beranjak dari tempat nya duduk saat ini.
Shaka mengusap wajah yang sudah basah, entah itu karena air matanya yang tadi tiba-tiba jatuh, atau justru karena air hujan. Tapi Shaka tak masalah, Shaka itu suka hujan, karena di saat hujan turun, ia bisa melepas topengnya dan menangis sesuka hati karena tak ada orang yang bakalan tahu kalau dia tengah menangis. Walaupun demikian, Shaka cukup sadar diri bahwa dirinya tidak bisa berada di suhu udara yang terlalu dingin atau pun panas dalam waktu yang cukup lama.
Yaps, pada kenyataannya justru imun Shaka yang lebih rendah di banding dua saudara kembarnya itu. Tapi Shaka tak pernah memanjakan tubuhnya, setiap kali dirinya mulai demam, Shaka akan diam, dan bersikap seperti biasa.
"Hidup gue selucu itu ternyata. Gue gak pernah kuat seperti ayah dan bunda katakan. Gue tetap Shaka kecil mereka yang butuh perhatian lebih." Lirih Shaka.
Shaka membiarkan dirinya di guyur hujan, walau ia tau pasti setelah ini ia akan demam, tapi Shaka bodoamat, lagi pula kalau dia demam pun, tak bakal bertahan lama juga abis itu sembuh.
Cukup lama Shaka berdiam diri di kursi taman rumah sakit itu, sampai akhirnya dia memilih untuk ke toilet, saat rasa mual itu kembali terasa. Shaka merutuki kebodohan nya yang satu ini, ia jarang makan padahal sudah tau kalau dia punya maag akut. Dasar nakal memang.
Shaka tak lagi peduli dengan tatapan heran dari beberapa orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit, pikiran nya saat ini hanyalah toilet, namun sayangnya saat sedang berlari, Shaka malah menabrak seseorang.
"Anjir lo Shak! Ini kenapa basah kayak gini? Lo hujan-hujanan. E-eh lo mau ke mana! Shaka gila, woy tungguin jangan kabur." Itu pekikan dari orang yang Shaka tabrak lagi.
Iya, itu abangnya, Rafa.
"Bodoamat abis itu dia mau omelin gue." Gumam Shaka yang masih terus berlari ke arah toilet.
Tepat saat ia sampai di toilet, ia langsung masuk di dalam salah satu bilik yang ada di situ, membungkukan badannya, dan memuntahkan isi perutnya di dalam closet lalu menyiramnya.
Shaka selalu saja merasa tak berguna jika sudah seperti ini.
"Lo kenapa bego si Ka, lo udah tau adek lo sekarat, eh sakit. Tapi lo juga malah nambah lagi, gak guna! Shaka bego! Gak guna! Argggh!" Gerutu Shaka. Merasa kesal dengan dirinya sendiri yang lagi-lagi tak bisa mengendalikan egonya.
"Dek! Shaka! Woy, buka pintunya! Lo gak macem-macem di dalam kan! Shaka! Woy gila buka pintunya." Shaka memejamkan matanya, hanya sesaat sebelum kembali membuka pintunya dan mendapati wajah Rafa yang terlihat jelas panik.
"Bacot lo!" Ketus Shaka kemudian berjalan melewati Rafa begitu saja. Tapi dengan sigap Rafa langsung menahan tangan sang saudara kembar.
"Lo kenapa basah-basah kayak gini? Udah malam woy, kalau lo sakit gimana? Jangan tambahin beban ayah dan bunda dong. Rafka aja belum sembuh, jangan nambah lagi." Tegas Rafa. Shaka hanya menoleh sekilas ke arah Rafa.
"Kalau pun gue sakit, gue pastiin lo semua gak bakal tau, kecuali kalau gue udah nyerah sama tubuh gue. Paham?!" Rafa terdiam mendengar ucapan dari Shaka, entah kenapa seketika dia merasa bersalah.
"K-ka sorry."
"Gue gak pernah marah. Udah deh, gue malas debat, mending lo ambilin baju gue di ruang rawat si Rafka. Bawa ke sini sekalian ama tas nya, gue gak mau tau dalam 3 menit udah ada di sini, atau gak gue beneran bakalan marah sama lo." Ucap Shaka yang mempu membuat Rafa membolakan matanya sempurna.
"Loh kok malah jadi ngeselin sih."
"Buru, atau gak beneran ngambek gue sama lo. Cepetan!" Rafa hanya bisa menurut saja. Bagaimana pun, ia tak mau jika adik-adiknya itu mendiaminya. Walau pun Shaka itu irit ngomong, tapi kadang dia bisa jadi paling ngeselin walau hanya dengan kata-kata di antara dua kembarnya itu. Ingat, garis bawahi, hanya untuk dua saudara kembarnya saja.
Shaka tersenyum tipis saat punggung tegap saudara nya itu tak lagi kelihatan.
"Gue gak bercanda dengan ucapan gue bang. Gue emang udah dari dulu biasa sembunyiin semuanya. Dan gue hanya menunggu sampai di mana gue bertahan." Gumam Shaka pelan.
Tbc...
Ehmm, up lagi nih 🤣
Wihh gk kerasa yaw udh maret aja, dah satu tahun sekolah nya pindah di rumah :v
Btw, smngtt ya buat yang lagi PTS hari ini. Kerjain soalnya teliti yaw, jan lupa berdo'a juga.
Dh gitu aja dulu ya...
Makasih buat yang mau sempatin baca cerita gaje ini...
See u 🧡
01.03.2021
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓
Teen FictionFamily-brothership Ini tentang dia, tentang Shaka. Tentang si tengah dari tiga kembar. Shaka namanya, sosok dingin, irit ngomong dan sering di juluki sebagai papan tripleks oleh Rafka, kembarannya yang punya selisih satu jam lebih adik darinya. B...