Gemercik air hujan yang terus berjatuhan dari angkasa di atas sana, menjadi satu dari sekian banyak hal yang menyambut pagi cowok 17 tahun itu. Setelah hampir sebulan setelah kejadian itu berlalu, ini adalah hujan pertamanya di bulan Desember ini.
Cowok itu—Shaka— hanya berdiam diri di balkon kamarnya sambil memperhatikan setiap rinai yang jatuh dari langit, serta merekem bagaimana saat tiba-tiba gemuruh dari angkasa sana terdengar mengejutkan.
Hampir sebulan setelah kejadian itu dan hampir sebulan pula ada rasa canggung antara dirinya dengan keluarganya. Walaupun saat pagi itu Shaka menerima maaf mereka, tetap saja ada perasaan tak nyaman jika sudah berkumpul bersama dan mencoba mengobrol seperti biasa.
Namun, Shaka mencoba abai. Mereka yang memulainya, dan Shaka hanya akan mengikuti alur itu.
"SHAKA!" Pekikan nyaring dari saudara kembarnya itu berhasil membuyarkan khayalan Shaka.
"Hm." Sama seperti dulu, Shaka memilih untuk terus bersikap dingin seperti biasa.
"Ck, kebiasaan deh, kalau dipanggil tuh nyaut bukan ngedehem doang." Ketus cowok yang mirip dengan Shaka. Itu Rafka.
Rafka memang nampak mengesalkan hampir sebulan ini. Lebih sering jahil sama Shaka dan kadang suka cari gara-gara. Tapi Shaka tak peduli, toh adiknya itu memang seperti itu.
"Berisik."
"Yee, sensi amat si Bapak. Turun ke bawah dulu, ada yang mau di omongin." Ujar Rafka. Shaka melirik sekilas cowok yang mirip dengannya itu.
"Apa?"
"Ya turun ke bawah lah! Gak ngerti bahasa manusia?" Tanya Rafka tajam sambil tersenyum sinis. Shaka hanya merotasikan matanya malas. Kan, makin ngeselin tuh anak.
"Ngapain harus ada gue? Hari ini libur, gue mau istrahat." Suara datar Shaka membuat Rafka berdecak kesal.
"Gak ada istrahat-istrahatan. Hari ini gue mau main tebak-tebakan sama Ayah Bunda. Lo atau Rafa ga bisa nolak." Tekan Rafka yang kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Shaka yang berdecak keras karena pintu kamarnya yang tadi di buka tanpa izin, tidak kembali di tutup.
Akhir-akhir ini Rafka memang tambah ngeselin, gak tau penyebabnya apa. Tapi ya sudah lah, masa bodo Shaka mah.
━━━In the Middle━━━
Setelah membersihkan dirinya, Shaka langsung turun ke bawah, lebih tepatnya di ruang keluarga. Di mana disana keluarganya tengah melempar canda dan tawa. Hangat, benar-benar definisi keluarga sempurna.
"E-eh Shaka ..." Sudah Shaka duga. Kehadirannya mungkin akan memberhentikan tawa mereka.
"Wah gini dong. Yaudah gue jelasin ya. Jadi nanti akan ada pertanyaan yang sama buat Ayah dan Bunda. Dan pertanyaan ini seputar keluarga aja, kayak misalnya tanggal berapa Rafa lahir, atau apa minuman favorit Bunda. Terus kita bertiga tugasnya mah, salah atau betulin jawaban Ayah atau Bunda. Intinya ini permainan untuk melatih seberapa kenal Ayah Bunda sama keluarga. Ngerti gak?" Penjelasan singkat dari Rafka membuat Ayah, Bunda dan Rafa mengangguk mengerti, berbeda dengan Shaka yang justru terdiam. Bukan tidak mengerti, tapi ia takut kalau permainan ini, hanya akan menambah goresan baru di hatinya.
"Yaudah? Ready semua kan? Soalnya yang bikin bukan aku, tapi Bi aku minta tolong sama Mbak Risa, hehe." Ucap Rafka yang di akhiri kekehan kecil.
"Okeh, Ready ya, Yah, Bun. Ayah sama bunda tinggal jawab, a, b atau c." Ayah dan bunda hanya mengangguk paham. Sedangkan Rafa dan Shaka memilih diam dan mengamati saja.
"First question, siapa di antara aku, Rafa atau Shaka yang paling suka coklat?" Rafka mulai membaca pertanyaan dan pilihannya.
Ayah dan Bunda nampak kompak mengangkat papan bertuliskan huruf B.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓
Teen FictionFamily-brothership Ini tentang dia, tentang Shaka. Tentang si tengah dari tiga kembar. Shaka namanya, sosok dingin, irit ngomong dan sering di juluki sebagai papan tripleks oleh Rafka, kembarannya yang punya selisih satu jam lebih adik darinya. B...