Hadiah Terakhir Dari Sosoknya

6.5K 502 20
                                    

Wajah tanpa rona, rambut yang berantakan, mata bengkak, serta isakan kecil itu benar-benar menggambarkan betapa hancurnya sosok Nadin setelah kepergian anaknya.

Hampir seminggu ini Nadin enggan untuk keluar kamar, bahkan saat Rafa atau pun Rafka membujuknya agar keluar serta berhenti bersedih, Nadin justru marah. Emosi wanita itu tidak stabil. Kepingan memori tentang perilaku buruknya terhadap Shaka lah yang menjadi penyebabnya. Wanita itu benar-benar menyesal dan terus menyalahkan dirinya.

"Bun, udah ya, Shaka pasti gak suka lihat Bunda kayak gini." Ujar Rafa dari luar, cowok itu berusaha sekuat dan setegar mungkin untuk keluarganya, walau dirinya sendiri begitu rapuh.

Rafka yang melihat kembarannya tampak lelah itu pun langsung mendekat, menepuk pelan bahu kembarannya itu, membuat si empu melirik ke arahnya.

"Hm?"

"Dari tadi lo berdiri mulu di depan pintu kamar Bunda, gak capek apa? Udah duduk sana gih, biar gue yang bujuk Bunda. Apa perlu lo istirahat aja dulu, itu mata udah kayak panda. Udah sana gih." Ujar Rafka pelan, sembari mendorong pelan bahu kembarannya. Rafa diam sejenak, menatap lekat wajah sang kembaran, ada rasa sesak luar biasa. Ah sekarang ia kembali merindukan Shaka.

"Makin besar aja lo. Ya udah, gue balik ke kamar dulu." Balas Rafa sambil terkekeh pelan sebelum akhirnya memilih untuk kembali ke kamarnya.

Rafka menatap sendu punggung saudara kembarnya yang mulai hilang bersamaan dengan pintu kamar yang kembali tertutup setelah tadi sempat di buka oleh Rafa.

"Gue rasanya pengen egois tau, gak sih lo? Gue pengen bilang kalau gue juga sakit, tapi gue sadar, saat ini egois bukan lah hal yang baik. Dan gue juga tau gimana rasanya pura-pura tegar di situasi kayak gini, Raf. Tapi satu hal yang harus lo tau, gue harap kita semua bisa jalanin hari-hari kedepannya dengan sama-sama, gue gak kepengen apa yang Shaka rasain bakal ke ulang lagi."  Batin Rafka sembari menyunggingkan senyum tipis.

"Bun, bunda makan dulu yuk, ini adek sama abang udah bikinin bunda bubur, bunda keluar dulu yaa..." Panggil Rafka dari luar, sambil mengetuk pintu kamar bundanya.

"Adek sama Abang makan duluan, Bunda gak lapar." Sahut Nadin dengan suara nya yang parau.

Rafka menarik kurva tipis, jawaban Bunda ini sudah berulang kali ia dengar.

"Adek gak mau makan kalau Bunda gak makan. Biarin aja Adek sakit terus masuk rumah sakit." Pekik Rafka, yang sekali lagi membuat Nadin harus pasrah dan menyampingkan egonya.

'cklek

Senyum Rafka mengembang seiring sosok wanita yang ia sayangi itu keluar, walau hanya sebentar sebelum wajahnya berubah kembali menjadi sendu saat melihat Bundanya kembali kacau.

"Nih Bunda udah keluar, sekarang kamu makan. Panggil abang kamu sekalian." Ujar Nadin. Rafka berdecak sebal, sebelum akhirnya menarik tangan Bundanya untuk kembali masuk ke dalam kamar.

"Bunda, Bunda. Jangan kayak gini dong, cantiknya ilang lho." Kesal Rafka yang memaksa Bundanya untuk kembali duduk lalu dengan telaten mulai menyisir rambut Bundanya yang tampak begitu awut-awutan itu.

Nadin diam membisu saat Rafka mulai mengikat rambutnya itu. Ia ingat dengan Shaka, Shaka kecil yang mengomeli nya saat ia hendak memasak, namun rambutnya hanya di gerai saja. Dan saat itu, Shaka memintanya untuk duduk, dan setelahnya mulai mengikat rambutnya dengan tangan kecilnya.

"Bun, jangan nangis. Maaf kalau aku ingatin Bunda sama almarhum Shaka. Tapi Bun, bunda harus ikhlas. Allah tahu mana yang terbaik buat hambaNya. Bun, aku tahu, Bunda masih merasa bersalah dan terpukul banget, semuanya sama Bun. Tapi kalau Bunda nangis terus kayak gini, apa Shaka bisa hidup lagi? Enggak Bun. Yang bisa kita lakuin saat ini cuman ikhlasin dia bun. Aku kasihan juga sama Rafa yang selalu pura-pura tegar depan kita, padahal tiap malam dia nangis," Papar Rafka yang kini sudah duduk tepat di sisi Nadin yang diam mematung.

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang