Raganya Telah Tiada

9.5K 610 62
                                    

Jakarta, 28 Maret

Bising yang biasanya terdengar begitu mengusik dari kelas XII Ipa 1 kini mendadak hilang. Entah mengapa gerangan, tapi yang jelas hari ini terasa lebih berat untuk menjalankan hari mereka.

"Dit, Shaka belum datang? Kan harusnya dia datang lebih awal, soalnya kan dia ngikut lomba olimpiade fisika." Tanya Ragil sedikit khawatir.

Bagaimana tidak, kalau sebentar lagi sudah pukul 08.30 dan yang ikut lomba, setengah jam lagi akan berangkat. Sedangkan Shaka sendiri belum menampakkan batang hidungnya membuat dua orang temannya itu khawatir bukan main.

"Kok nyesek gini ya?" Celetuk salah satu siswa yang duduk di depan Ragil.

"Ya gak tau, mungkin ACnya mati kali." Balas teman sebangku cowok itu. Ragil dan Radit saling pandang.

Kenapa bisa kompakan?

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam"

Salam dari seorang guru muda itu mengalihkan atensi anak kelas XII Ipa 1 itu ke depan.

Di sana ada Bu Metta dengan wajah kentara sedih yang masih coba beliau sembunyikan dengan senyum tipis.

"Anak-anak semuanya yang saya banggakan, saya mohon izin waktunya sebentar ya." Ucap Bu Metta dengan suara yang bergetar. Guru itu seperti ingin menangis. Dan tentu juga mengundang banyak pertanyaan dari benak mereka semua.

"Jadi, saya berdiri di sini untuk menyampaikan kabar duka dari teman kalian," Bu Metta tampak berusaha menghapus bulir air mata yang terus jatuh membasahi pipinya. Anak-anak sekelas mendadak bungkam. Ada gemuruh hebat dalam hati mereka, serta berbagai pikiran negatif mulai melayang-layang di pikiran mereka.

"Semalam teman kalian mengalami kecelakaan hebat, dan sayangnya keadaan teman kalian gak bisa di selamatin sama dokter." Yang lain bungkam, sesak itu terasa luar biasa walau tak tahu siapa murid yang Bu Metta langsung.

"Arghh! Bu coba dong ngomong yang jelas siapa murid yang ibu maksud? Jangan belibet gini deh." Geram Ragil yang sejak tadi berusaha mengontrol emosinya.

"Shaka."

Satu nama yang berhasil Guru muda itu katakan membuat mereka mendadak bungkam, hingga suara gebrakan meja terdengar di susul dengan pikik begitu lantang dari Ragil.

"IBU BERCANDA JANGAN BERLEBIHAN! IBU DO'AIN TEMAN SAYA MATI, HAH?!" Tak bisa di pungkiri, sikap dingin Shaka itu sudah menjadi candu untuk anak sekelas.

"Gil, sabar ..." Ujar Radit pelan suaranya kentara bergetar dan Ragil langsung bisa menebak sepupunya itu berusaha untuk tidak menangis.

"HEY, LO SEMUA KENAPA DIAM AJA?!" Tanya Ragil lantang, sebelum akhirnya cowok itu terdidik lemah di lantai sembari terisak pelan.

Anak-anak sekelas juga ikut terisak, tidak mungkin kan tripleks berjalan itu pergi meninggalkan mereka semua begitu saja?

"Saya sudah minta izin kepada pihak sekolah, dan kita di izinkan untuk melayat pagi ini. Kalau gitu saya permisi." Ucap Bu Metta yang setelah itu memilih ke luar kelas. Meninggalkan anak-anak kelas 12 Ipa 1 dengan kesedihan mereka masing-masing.

∴━━━In the Middle━━━∴

Isak tangis itu masih terdengar beriringan dengan lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur'an. Suasana rumah keluarga Dinata benar-benar dalam keadaan berduka. Terlebih untuk keluarga yang di tinggalkan.

Di rumah Ardan kini sudah ada beberapa kerabat dari Bandung, maupun Surabaya yang sudah sejak semalam di beritahu. Mereka masih mencoba menenangkan Bunda yang sedari tadi malam tak henti mengeluarkan air mata. Lebih tepatnya sih, karena merasa menyesal akan semua sikapnya kepada anak tengahnya.

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang