Cuaca pagi yang hangat, menyambut pagi sebuah keluarga kecil yang tampak sibuk beberes barang-barang mereka yang akan mereka bawah saat pindah ke Bandung nanti.
"Raf! Abang! Rafa! Aish, coba ini mana baju lo, mana baju gue sih?!" Pekikan lantang dari cowok berusia 18 tahun itu terdengar menggelegar mengisi setiap sudut rumah itu.
"Adek, masih pagi jangan teriak-teriak." Tegur Nadin yang sedang berkutat dengan alat masaknya di dapur.
"HEH BOCAH, YANG LO PEGANG TUH BAJU GUE, YANG ITU BAJU SI SHAKA, DAN PUNYA LO YANG DI KURSI, DODOL!" Balas Rafa yang tiba-tiba muncul dari kamarnya dengan wajah di tekuk kesal. Kembarannya merusak mood paginya, menyebalkan.
"Oh iya, lupa. TAPI GAK USAH NGEGAS JUGA PAK!" Kesal Rafka yang menaikkan intonasi suaranya pada kalimat keduanya.
"Allahu Akbar! Ayah pusing ini kalian debat mulu. Udah udah, bang kalau punya kamu udah beres, bantuin punya adek. Gk ada bantahan, biar semua cepet beres." Ucap Ardan yang tiba-tiba datang dan langsung menengahi perdebatan kecil di antara dua anak kembarnya itu.
"Ah ayah mah. Padahal kan abang lagi mo main." Gerutu Rafa yang kemudian menghampiri Rafka yang sekarang sudah menyeringai puas. Ah menjengkelkan.
"Dasar kembaran laknat lo!" Gerutu Rafa yang membuat Rafka tertawa puas. Tapi setelah itu, kedua anak kembar itu pun kembali fokus untuk beberes barang-barang mereka yang akan di bawa ke Bandung.
Sebenarnya rencana awal mereka berangkat ke Bandung adalah pagi ini, namun karena sebagian barang milik Rafka belum di bereskan, alhasil perjalanan pagi ini harus di tunda, dan akan berangkat ke Bandung nanti setelah sholat zuhur sehabis makan siang.
Tok!
Tok!
Tok!
"Permisi!"
Rafa dan Rafka saling berpandangan saat mendengar suara seruan dari luar. Siapakah yang bertama di pagi hari seperti ini? Bahkan Bundanya saja belum selesai memasak makanan untuk mereka sarapan.
"Bang, bukain pintunya dulu!" Seru Ayah yang tampak asik membaca koran. Rafa hanya menggeleng melihat sikap Ayah yang akhir-akhir ini sedikit berubah. Ia tahu, ayah hanya sedang berusaha menyibukkan dirinya saja. Tapi sudahlah, selagi Ayahnya tak berlarut dalam kesedihan, Rafa sudah sangat bersyukur.
"Iya yah," Sahutnya, lalu berjalan ke arah pintu utama.
Ceklek
Rafa mengangkat sebelah alisnya. Sedikit terkejut mendapati kurir di depan rumahnya. Apakah ada yang memesan paket? Tapi siapa? Setahunya sejak kepergian Shaka, keluarga sama sekali tak berbelanja apapun.
"Apa betul ini dengan rumahnya Pak Ardan dan Bu Nadin?" Tanya kurir itu yang semakin membuat Rafa kebingungan.
"Ah iya, bener. Emang kenapa ya?"
"Ini ada paket atas nama mereka. Untuk semua biayanya juga sudah di lunasi semua, tinggal tanda tangan di sini aja." Awalnya Rafa ragu, tapi saat melihat itu benar-benar paket atas nama orang tuanya, ia pun langsung menandatangani kertas itu.
"Kalau gitu, saya permisi dulu." Rafa mengangguk.
"Makasih Pak." Ucapnya, kemudian kembali masuk ke rumah sembari membawa paket yang entah apa isinya.
"Siapa Bang?" tanya Bunda yang sepertinya baru selesai memasak.
"Itu tadi ada kurir, ngasih paket atas namanya Bunda sama Ayah. Tapi aku juga bingung, soalnya satahu aku Bunda sama Ayah gak pesan barang online sejak beberapa bulan terakhir." Ujar Rafa sembari memperlihatkan satu paket dengan ukuran lumayan besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓
Fiksi RemajaFamily-brothership Ini tentang dia, tentang Shaka. Tentang si tengah dari tiga kembar. Shaka namanya, sosok dingin, irit ngomong dan sering di juluki sebagai papan tripleks oleh Rafka, kembarannya yang punya selisih satu jam lebih adik darinya. B...