-30-

5.1K 483 39
                                    

Hingar bingar orang-orang di aula sekolahnya bukan lagi menjadi fokus Rafka saat. Sedari tadi cowok itu mondar mandir tak jelas di depan aula hanya untuk menunggu kedatangan Bundanya yang pagi tadi sudah berjanji akan menghadiri acara penerimaan raportnya.

"Ck, Bunda mana sih? Masa gak jadi dateng?" Anak itu cemas serta takut kalau misalnya Bunda benar-benar tak datang ke acaranya.

"Rafka, ngapain sih? Udah kali, tunggu di dalam aja. Bunda lo pasti dateng itu, gak mungkin gak dateng. Tenang aja, masih ada setengah jam lagi. Lo mending duduk manis dan sopan di depan, okeh? Pusing gue lihat lo mondar mandir dari tadi." Ujar Alan memijit pangkal hidungnya. Terlampau jengah dengan sikap Rafka saat ini.

"Gimana gue bisa tenang coba?! Bahkan Bunda gak bilang apa-apa kalau bakal telat ke sini! Gue malah jadi curiga kalau Bunda sempatin pergi nemuin abang gue dulu." Kesal Rafka, Alan hanya geleng-geleng kepala.

"Lo jangan soudzon gitu. Au ah bodo, masuk dalam aja, lo nungguin sampe lumutan di sini pun, percuma kalau Bunda lo belum tau kapan sampe nya. Udah mending gabung sama si Zidan sama Rio." Ujar Alan yang kemudian langsung menarik tangan Rafka pelan untuk mengikuti langkahnya untuk kembali ke dalam aula.

"What's up brother! Itu muka napa? Suntuk amat?" Tanya Zidan yang langsung merangkul Rafka yang tengah dalam mode bad mood nya itu.

"Ka, kenapa sih?" Tanya Rio yang kemudian melirik Alan yang datang bersama Rafka tadi. Dari tatapan penuh tanya Rio, Alan tau maksud cowok itu.

"Lagi galau nungguin Bunda nya. Padahal mah anak kesayangan Bundanya, udah pasti Bundanya datang, tapi nih bocah satu malah ngegalau." Ucap Alan enteng.

Namun entah karena apa, mendadak Rafka bungkam. Tidak ada yang salah dari kata Alan tadi, namun ada yang mengganjal di hatinya. Hingga ia menemukan alasan itu, Rafka berdecih sinis.

" Anak kesayangan Bunda? Jadi bukan Ayah dan Bunda? Ahahah, emang. Kan Rafa anak kesayangan Ayah ..." Batin Rafka yang entah kenapa mendadak kesal dengan abang kembarannya itu.

"Tau ah, kesel gue, pengen seblak." Ucap Rafka random. Niatnya ingin mengalihkan sejenak pikirannya dari persangka buruknya terhadap kembarannya yang memiliki selisih 2 jam lahir lebih awal dengannya.

"Dih, random amat si Bapak. Ya udah, karena masih setengah jam lagi, gas aja lah. Gue lagi baik, jadi gue traktir." Ucapan Zidan barusan berhasil membuat Rafka menarik kurva tipis.

"Setuju, let's go."

━━━In the Middle━━━

Rafa memejamkan matanya, merasakan sensasi angin pagi ini yang berhembus dengan tenang, memberikan rasa nyaman kala angin itu menerpa wajah tampannya.

"Raf? Om Ardan datang ke sini, gak sih? Udah mau jam 9 lho, bentar lagi acara nya di mulai." Suara seseorang yang terdengar setengah kesal itu membuat Rafa terpaksa membuka matanya. Rafa hanya bisa merotasikan bola matanya jengah saat mengetahui orang di depannya saat ini adalah Andi.

"Ya yakin lah. Lo tau kan Ayah gak mungkin gak datang. Lagian kok lo nya sensi banget sih?" Andi yang awalnya kesal, tiba-tiba langsung salah tingkah.

"Iya juga ya, lo anaknya kok malah gue yang kesal? Ck, tapi abisnya lo bilang tadi si Rafka juga ada penerimaan raport hari ini. Jadi ya gue mikirnya, siapa tau Om Ardannya lagi ke sekolah adek lo itu." Ujar Andi yang sekarang ikut duduk di samping Rafa yang duduk di atas gazebo yang ada di taman belakang sekolah.

"Ya kali kayak gitu, gak mungkin lah. Orang dianya yang bilang Ayah ke sini terus Bunda ke sekolah nya dia." Balas Rafa enteng. Andi hanya mendengkus kasar.

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang