-21-

4.6K 505 26
                                    

Hujan deras malam ini menjadi satu-satunya suara yang mengisi hening yang tercipta di kamar bernuansa abu-abu itu. Temaram lampu yang berasal dari lampu belajarnya, adalah satu-satunya cahaya yang menjadi penerangan malam ini di kamar remaja 17 tahun itu.

Suara ketokan pintu, tak lagi cowok itu dengarkan. Ia biarkan saja tanpa ada niat membuka kunci nya, atau sekedar menyahuti panggilan kembarnya. Entah, yang cowok itu pikirkan untuk saat ini adalah, ia ingin sendiri, berteman dengan sepi dan juga temaram lampu belajar yang menambah kesan kelam dan kelabu dalam dirinya.

Shaka, cowok itu tak pernah mengerti bagaimana kehidupannya. Tak pernah mengerti mengapa ia harus dilahirkan, jika hadirnya mungkin hanya dianggap sebagai pelengkap saja.

Pernah sesekali Shaka berfikir, mungkin jika ia pergi nanti, keluarga ini akan jauh lebih bahagia, namun tidak. Ia tahu, hadirnya ada untuk melengkapi yang kosong. Hadirnya di butuhkan, walau bukan seperti apa yang ia harapkan.

Dulu, saat usianya masih lima tahun, Shaka kecil hidup tanpa beban pikiran seperti ini. Tidak ada bayang-bayang soal kehidupan yang buruk. Shaka umur lima tahun adalah Shaka yang ceria dan aktif. Kesayangan orang-orang di sekitarnya, dan sumber tawa orang-orang terdekatnya. Namun sekarang, Shaka kecil itu tak lagi ada. Sekarang hanya ada Shaka dengan kerumitan dalam hidupnya. Hanya Shaka yang datar, dingin dan terlalu sulit ditebak. Shaka yang sekarang adalah rahasia. Sakit, patah, keluh, marah dan kecewanya hanya akan ia simpan sendiri. Menyimpannya serapi mungkin agar tak ada yang tahu jika ia terluka.

Pikiran Shaka kacau, bunyi tamparan yang diberikan bunda dan ayahnya secara bergantian masih terekam jelas dalam indra pendengarannya, membuat Shaka meringis pelan.

Shaka ingin sekali berteriak, menyuarakan kepada semua orang, kalau ia tak pernah baik-baik saja. Shaka diam, bukan berarti dia terbiasa. Karena sejauh apapun itu, Shaka tetaplah Shaka yang hatinya mudah patah ketika seseorang mencemooh dirinya. Mengomentari hidupnya dan sok tau tentang kehidupannya.

Kadang kala, Shaka ingin bertanya, apa arti hadirnya untuk orang-orang di sekitarnya? Kenapa kadang kala ia mendapatkan perlakuan berbeda dengan dua kembarannya? Atau kenapa Shaka harus mendapat penolakan yang begitu nyata dari teman-teman sekolahnya?

Iri, jujur perasaan itu tak bisa ia elakan walau sering kali ia berusaha singkirkan. Shaka kadang kala ingin bertanya kepada dua kembarannya itu, bagaimana rasanya di khawatirkan jika mereka pulang kemalaman? Bagaimana rasanya saat sakit diberikan perhatian lebih? Bagaimana rasanya saat ayah dan bunda memarahi mereka masih bisa dengan cara lembut? Shaka ingin bertanya, tapi dia tak bisa.

Karena sekali lagi, Shaka hanya bisa memendam apa yang ia rasa. Shaka hanya bisa kembali menelan bulat-bulat semua pertanyaan yang sejak awal sudah siap di ujung lidahnya. Shaka hanya tak ingin orang lain tahu, kalau Shaka terluka dan merasa terabaikan.

Tes

Shaka membuka matanya, cairan merah itu mulai mengalir dari hidungnya. Ah bahkan Shaka tak sadar, udara disekitarnya memang terlalu dingin untuk dirinya yang memang tak pernah kuat dengan suhu udara yang dingin, di tambah mungkin pengaruh alerginya juga.

Maka setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Shaka meraih beberapa tisu yang berada di atas meja nakas samping tempat tidurnya dan mulai membersihkan darah yang lumayan banyak itu.

Tepat di menit kelima, darah itu berhenti, Shaka pun sudah membuang tisu-tisu itu ke tempat sampah.

Hening, hanya ada suara hujan yang masih enggan untuk berhenti menjatuhkan rinai nya. Shaka kembali memejam, membiarkan dingin itu kembali menusuk kulitnya. Biarkan malam ini, Shaka coba berdamai dengan keadaan serta dengan dirinya sendiri, setidaknya malam ini saja sebelum memulai hari esok yang entah akan seperti apa lagi.

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang