-27-

4.8K 494 17
                                    

Semburat jingga di angkasa sana menjadi titik fokus cowok 17 tahun itu. Ada banyak sesal dalam diri cowok itu, ada kecewa yang tak bisa di gambarkan dengan kata, serta ada luka yang tak bisa di obati dengan maaf.

Hari ini, Shaka kembali terluka. Dan jauh lebih menyiksa di bandingkan sebelumnya.

Shaka menghela napas panjang. Ada sesal setelah ia berani menjawab pertanyaan ayahnya dengan lantang tadi, sesal karena air mata yang jatuh dari pelupuk mata Bundanya adalah karenanya, sesal karena mengungkapkan apa yang seharusnya cukup ia simpan sendiri.

Shaka tak pernah berpikir hari ini akan terjadi. Hari di mana ia berani menunjukan sebagian luka kecewa nya pada keluarganya. Namun, benar apa kata Opa, ada kalanya Shaka memang harus bersuara ketika ia merasa sakit.

Tok

Tok

Tok

Suara ketukan itu berhasil memecahkan fokus Shaka. Cowok itu melirik sekilas ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup. Ia tau salah satu anggota keluarganya pasti yang mengetuk pintu itu, namun Shaka benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri agar bisa kembali berdamai dengan dirinya sendiri.

"Shaka ...  Gue mau ngomong, bukain pintunya, bentar doang." Tanpa banyak berpikir lagi, Shaka sudah tahu itu Rafa dari nada suaranya.

Shaka berdecih sinis. "Nanti aja kalau mau ngomong, gue mau istrahat." Sahut Shaka dari dalam.

"Tapi Shak--"

"Gue gak papa."

Shaka mendengar suara helaan napas saudara kembarnya itu. Shaka tau, Rafa tak pernah bermaksud menonjok nya tadi, cuman seperti yang Shaka bilang tadi, dia hanya ingin waktu sendiri, barang sejenak untuk menenangkan pikirannya.

"Yaudah." Suara Rafa terdengar pasrah. Dan Shaka memilih diam, tanpa ada niat untuk menyusul ataupun membukakan pintu untuk saudaranya.

****

Sejauh ini, Shaka memang sering mendapat luka baru dari orang-orang di sekitarnya tanpa mereka sadari. Sikap, bahkan perkataan mereka, bukan sesuatu yang mudah buat Shaka lupakan, walau lisannya berucap bahwa ia sudah memaafkan kesalahan mereka.

Sama seperti saat ini. Setelah semalaman menolak bercerita dengan semua orang, pagi ini cowok itu keluar dari kamar dan berusaha bersikap seperti biasa. Dingin dan tetap cuek.

"Ayah benar-benar minta maaf ya, Shak. Kamu boleh hukum Ayah sekarang, tapi jangan marah sama Rafa. Abangmu itu cuman kebawa emosi kemarin." Setelah Bunda dan Rafa  meminta maaf, kini suara ayah terdengar. Lagi-lagi ada retak yang Shaka rasakan dari permintaan maaf Ayah. Retak yang tanpa sadar Ayahnya berikan.

"Shaka gak marah sama Ayah, Bunda atau sama Rafa. Udah lupain aja kejadian kemarin, Shaka pamit dulu, assalamualaikum." Seperti kejadian seminggu lalu, Shaka langsung bergegas tanpa menunggu salamnya di jawab.

"Shak, bareng gue aja." Pekik Rafa yang kemudian berlari keluar rumah menyusul Shaka dan meninggalkan Rafka yang masih terdiam sendiri sambil mengepalkan tangannya.

"Aku nyusul mereka dulu, assalamualaikum." Pamit Rafka yang juga ikut berlalu keluar.

****

"Gue bareng teman. Lo sama Rafka aja." Ujar Shaka dengan nada dinginnya. Membuat Rafa hanya bisa menghela napas pasrah.

"Yaudah. Raf, ayo." Rafka tak banyak komentar dan mulai mengikuti langkah Rafa menuju mobilnya. Sedangkan Shaka sendiri memilih untuk berjalan kaki menghampiri mobil Radit yang sudah terparkir tak jauh dari rumahnya.

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang