-14-

4.2K 437 26
                                    

"Shaka, lo udah?"

Pertanyaan itu menyentak Shaka yang masih mencoba mencerna maksud teman-teman sekelasnya.

Shaka masih menatap datar ke arah teman-teman sekelasnya yang kini sudah menatap Shaka dengan tatapan menghakimi.

"Jan? Ujan? Woy Fauzan! Lo udah belum sih, tugas prakteknya?" Tanya Ragil yang merupakan teman sebangku Radit.

"Belum."

"WHAT?!"

Shaka menghela nafas panjang, saat mendengar umpatan dari beberapa teman sekelas yang sangat kesal mendengar jawaban darinya. Shaka ingat, tugas praktek di berikan bu Firda seminggu yang lalu, yang artinya saat dia masih sekolah. Tapi sayang nya, Shaka melupakan itu karena ada beberapa hal. Salah satunya tentang keputusan nya untuk berhenti dari kelas musik.

"Terus ini gimana? Kalau di hukum sekelas gimana?" Gerutu seorang siswi yang duduk di pojok kiri paling depan.

"Gue yang urus." Ucap Shaka masih dengan nada datarnya. Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Shaka, berhasil membuat anak sekelas terdiam, bukan kaget dengan jawaban Shaka, tapi kaget karena Shaka mau menyahuti mereka. Karena biasanya, Shaka akan langsung bertindak, tanpa harus mengatakan apa-apa. Dan di kelas itu, bisa di bilang Shaka jarang sekali ngomong bahkan bisa di bilang hampir tiap pernah ngomong, siapa pun itu yang berbicara, Shaka hanya akan merespon nya jika menurut Shaka penting.

"Serah lo aja deh Jan." Ucap mereka final sebelum kembali ke aktivitas awal mereka.

Sedangkan di tempat nya Shaka nampak berfikir apa yang akan ia lakukan agar teman-teman sekelasnya tidak ikut di hukum.

"Jan" Shaka menoleh, mendapati Radit yang tengah menatap nya.

"Hm"

"Kok lo bisa lupa? Gak biasanya lho? Ada masalah ya sampe lo lupa? Atau karena masalah lo itu juga, lo absen dari sekolah selama tiga hari?" Tanya Radit membuat Ragil yang duduk di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala, sedangkan Shaka hanya bisa menghela nafas panjang.

"Bukan urusan lo." Jawab Shaka datar sebelum akhirnya memilih untuk beranjak dari tempat yang ia duduki.

"Makanya, kalau udah tau tuh manusia satu kayak es, jangan di tanya-tanya kayak gitu, udah pasti gak bakal jawab dianya." Cibir Ragil yang sibuk menggambar abstrak di belakang buku catatan prakarya nya.

"Heh, asal lo tau ya. Yang namanya es pasti bakal tetap akan cair juga kali. Dan gue rasa ada sesuatu yang buat dia jadi dingin bat kayak gitu." Ujar Radit dengan yakin, Ragil di sampingnya hanya mengangguk saja.

****

Shaka baru saja akan keluar dari kelas, tapi langkah nya langsung tertahan di depan pintu kala ia berpapasan dengan bi Firda yang akan masuk ke kelasnya.

"Ngapain di sini? Kembali ke tempat dudukmu!" Perintah bu Firda tegas, Shaka hanya nurut, karena terlampau malas mendengar ocehan dari guru di depannya itu.

"Okeh, bagaimana kabar kalian pagi ini?" Tanya bu Firda yang sedikit berbasa basi terlebih dahulu.

"Baik bu" Sahut murid sekelas dengan kompak, ah ralat minus Shaka yang duduk di pojok belakang sendirian.

"Baiklah, sebelum kita masuk materi baru, ibu minta kalian semua untuk kumpulkan tugas praktek minggu lalu di depan."

"Dan saya harap, kalian semua mengerjakan nya. Semuanya, tanpa terkecuali. Kalau ada yang tidak mengerjakan, saya rasa kalian sudah tau apa yang akan di dapatkan." Suara rendah penuh penekanan itu membuat semua anak sekelas menunduk, tak ada yang berani mengangkat kepala mereka.

" Ini kenapa pada diam semua? Cepat kumpulkam tugas kalian." Suara bu Firda kembali terdengar.

Shaka—selaku yang tidak mengerjakan tugas pun langsung berdiri, yang sontak mendapatkan tatapan penuh tanya dari bu Firda.

"Kenapa Shaka?" Tanya bu Firda.

"Saya melupakan tugas praktek saya bu. Dan untuk itu saya minta maaf." Ucap Shaka dengan suara nya yang masih datar.

"Oh, jadi ini yang bikin anak sekelas diam. Bagus, kalian udah tau apa konsekuensi nya kalau satu di antara kalian tidak mengerjakan tugas kan?" Lagi dan lagi tak ada yang menyahuti karena takut. Sebenarnya, kalau boleh jujur mereka kesal dengan sikap bu Firda, tapi mau bagaimana lagi, guru mereka yang satu itu emang hobi sekali menghukum.

"Saya tahu. Tapi di sini, cuman saya yang salah, mereka yang lain sudah bekerja keras untuk membuat tugas itu, jadi ibu cukup hukum saya saja, jangan yang lain." Ujar Shaka yang mampu membuat teman-teman sekelasnya membelalakan matanya karena kaget.

Lagi? Untuk yang ketiga kalinya, Shaka ingin menyelamatkan mereka dari hukuman? Sungguh?

Sedangkan di tempatnya bu Firda hanya menatap sinis ke arah Shaka sambil menunjukan senyum miringnya.

"Waw! Saya takjub, seorang Fauzan Arashaka ini tampak membela teman sekelasnya. Seorang murid yang di kenal dingin, yang kadang gk punya sopan santun sama guru, rela di hukum seorang diri. Baguslah, untuk kali ini saya terima permintaan kamu."

Semua siswa di kelas terdiam, perasaan mereka sudah tak enak.

"Kalau begitu, semua hukuman yang di tanggung teman-temanmu kamu yang tanggung."

"dua puluh sembilan siswa di kali dengan lima putaran, yang artinya kamu harus lari keliling lapangan sebanyak seratus empat puluh lima putaran. Setelah itu bersihkan toilet cowok yang ada di lantai atas dan bawah. Paham? Kalau begitu silahkan keluar." Ucapan bu Firda lagi-lagi menyentak anak kelas 12 Ipa 1 itu.

Shaka sendiri tampak sedikit terkejut, tapi tak ada yang berubah dari ekspresi wajahnya. Shaka ingin marah, ingin mengeluh jika ia keberatan dengan hukuman gila yang di berikan guru yang tak punya rasa kasih sayang sedikit pun itu, tapi sekali lagi, Shaka yang salah di sini, teman-teman nya tak salah, jadi apapun hukum itu, ia akan tetap menjalani itu.

Shaka menghembuskan nafasnya berat, sebelum akhirnya memilih berdiri untuk segera menyelesaikan hukumannya.

Tapi–





Tbc...

Aneh banget dah, bingung aku mau lanjutin kayak gimana, soalnya mood nulis lagi menurun, jadi maafin kalau lama gk up plus part ini rasa ngecewain.

Skli lagi aku minta maaf yaa...

See u

17.03.21

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang