Shaka baru saja menginjakan kakinya di lantai dingin teras rumahnya. Dari apa yang ia lihat, ia yakin ke dua kembarannya itu pasti sudah sampai di rumah, dan hal itu cukup membuat Shaka lega.
Namun, baru saja ia masuk ke dalam rumah, suara ribut dari ruang tengah sudah terdengar, dan hal itu membuat Shaka sedikit cemas. Tapi, Shaka bukannya memilih untuk langsung ke kamarnya, cowok itu memutuskan untuk ke ruang tengah terlebih dahulu.
Langkah Shaka seketika membeku, melihat bagaimana Rafka yang diam menunduk, sementara ayah memarahinya, dan di sisi lain ada Rafa yang berusaha membujuk ayah agar tak terus memarahi Rafa.
Awalnya, Shaka sedikit ragu untuk memanggil mereka, tapi melihat bagaimana pancaran kekhawatiran dari mata bunda saat ayah memarahi Rafka, membuat Shaka akhirnya maju lebih dekat, dan menghampiri keluarganya.
"Ini ada apa?"
PLAKK!
Shaka memejam erat, saat sensasi panas itu membakar kulitnya. Tangan hangat orang yang berusaha setengah mati ia jaga kehormatannya, dan juga yang ia sayangi, untuk yang pertama kalinya tangan itu terangkat untuk menampar pipinya. Shaka tersenyum tipis mengejek dirinya sendiri.
"KAMU DARI MANA, HAH?! TERUS KENAPA KAMU BIARIN ADIK KAMU NAIK MOTOR SENDIRI?! JAWAB SHAKA!" Shaka bungkam. Suara bunda meninggi, dan ini untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya ia di bentak bunda. Shaka ingin menyuarakan penolakan, tapi ia urung karena takut kata yang ia ucapkan nanti malah menyakiti bunda.
PLAKK!
Sekali lagi, sensasi panas itu kembali terasa si bagian pipi sebelah kirinya. Kali ini bukan bunda, tapi ayah. Shaka tak berani mengangkat kepalanya.
"Ayah tadi Sha—"
"Rafka! Kamu diam!" Sentak Ayah saat Rafka mencoba memberi pembelaan untuk Shaka. Pasalnya ia tahu, untuk saat ini Shaka tidak baik-baik saja. Terbukti dari wajah nya yang penuh lebam saat ia masuk ke rumah, dan juga, netral menangkap bercak kemerahan di seragam sekolah Shaka.
"Rafa, bawa adik kamu masuk! Ayah gak terima bantahan!" Rafa hanya bisa menuruti ucapan ayah nya walau dalam hati ia ingin sekali menolong adiknya itu.
"Iya, yah. Ka, ke kamar aja dulu, ganti baju. Baju lo basah semua, entar sakit, ayok." Rafka tak membantah dan mulai mengikuti langkah Rafa yang berjalan terlebih dulu darinya.
Setelah Rafa dan Rafka masuk, di ruang tengah kini hanya ada Shaka dan dua orang tuanya.
"KAMU GILA APA GIMANA SIH? KAMU GAK INGAT APA, ADEK KAMU KEMARIN BARU KECELAKAAN DARI MOTOR, DAN SEKARANG KAMU BIARIN DIA NAIK MOTOR SENDIRI?! MIKIR, OTAK KAMU DI KE MANAIN SIH?" Bentak bundanya. Shaka diam, ada retak yang berasal dari dalam.
"Bun, Shaka bisa jelasin."
"Gak ada lagi yang ya perlu kamu jelasin. Kalau adek kamu kenapa-napa, gimana, hah?!" Kali ini suara ayahnya yang terdengar. Shaka kembali diam.
"Masuk kamar, jangan keluar kamar sampai besok!" Final, ayah berucap, kemudian membantu bunda untuk masuk ke kamar, meninggalkan Shaka yang masih terdiam, menatap sendu punggung kedua orang tuanya yang sudah hilang di balik pintu kamar yang juga sudah di tutup.
Shaka tersenyum kecut. Apakah orang tuanya tak bisa melihat penampilannya yang begitu kacau ini? Tak bisakah kedua orang tua nya melihat wajahnya yang penuh lebam, serta bercak darah di seragamnya yang kini kembali mengalir? Tak bisakah? Ah emang apa yang Shaka harapkan?
Maka dengan pelan, Shaka membawa langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya yang kebetulan berada di lantai dua.
Shaka tersenyum tipis melihat pantulan dirinya yang begitu berantakan di cermin. Seketika ingatannya tentang tadi kembali berputar diingatannya, saat bagaimana tangan ayah dan bundanya bergantian menampar pipinya, yang bahkan nyerinya belum hilang hingga detik ini, serta meninggalkan bekas memerah di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓
Подростковая литератураFamily-brothership Ini tentang dia, tentang Shaka. Tentang si tengah dari tiga kembar. Shaka namanya, sosok dingin, irit ngomong dan sering di juluki sebagai papan tripleks oleh Rafka, kembarannya yang punya selisih satu jam lebih adik darinya. B...