-31-

5.2K 515 20
                                    

Entah kenapa semilir angin yang berhembus, tak lagi memberikan ketenangan bagi Shaka. Degub jantung cowok itu menggila. Entahlah, tapi saat nada dering itu berganti dengan suara dari dua orang yang ia telpon saat ini, mendadak Shaka menahan napasnya beberapa detik sebelum akhirnya menghembuskan nya kasar saat suara kembarannya yang hanya terpaut satu jam lebih muda darinya itu membuka suara.

"Halo, ngapain? Tumben nelpon?" Suara dengan nada kesal itu terekam jelas dalam indra pendengarannya. Dan Shaka tebak, adiknya itu pasti tengah kesal menunggu Bunda yang tak datang-datang juga.

"Lah Shak? Ngapain juga nelpon sekaligus kita berdua? Tumben amat." Suara lain ikut menyahuti ucapan Rafka, itu Rafa.

"Hahh ... Sebelumnya gue mau minta maaf, gue cuman mau bilang, Ayah sama Bunda belum bisa datang ke acara lo berdua." Shaka menahan napasnya lagi selama beberapa saat, saat kata itu akhirnya berhasil ia suarakan.

"What?! Kok bisa? Kenapa?" Pertanyaan kompak dari dua orang di sebrang sana membuat Shaka sedikit ragu untuk menyuarakan kembali suaranya seperti apa yang Ayah katakan padanya tadi. Tapi apa boleh buat? Ia sudah terlanjur menelepon kedua kembarannya itu, artinya ia siap untuk kembali berbohong.

"Ayah sama Bunda lagi jalan sama gue. Jadi kemungkinan gak sempat ke acara lo berdua." Ujar Shaka dengan perasaan tak nyaman yang benar-benar mengusiknya. Entahlah sudah berapa kebohongan yang ia ucapkan kepada kedua kembarannya itu.

Shaka diam, hening itu terjadi beberapa saat sebelum kekehan yang terdengar meremehkan dari kembarannya yang satu jam lebih muda darinya itu terdengar mangalun memenuhi indra pendengaran.

"Dih? Haha, gak nyangka gue. Masa mentingin jalan sama lo dari pada ngehadirin acara gue? Bunda udah janji sama gue dan gak mungkin Bunda ingkar gitu aja!"  Dari getar suara Rafka, Shaka tau kembarannya yang satu itu tengah berusaha menahan diri agar tidak meledak karena amarah yang mulai membakar tenangnya. Sedangkan Rafa sendiri, cowok itu hanya berdecih sinis sebelum akhirnya mematikan panggilan secara sepihak.

"Tapi Please, jangan marah sama Bunda. Gue yang minta buat mereka temani gue bentar aja. Tapi ini malah kejebak macet." Ujar Shaka pelan tanpa penekanan.

"Hah? Ck pantas, gue kira Rafa yang udah rebut semua kasih sayang Ayah, ternyata ada lo yang udah memonopoli semua kasih sayang Ayah dan Bunda. Serah lo aja."

Setelah itu Rafka benar-benar mematikan sambungan telpon, menyisakan Shaka yang diam-diam mengepalkan tangannya kuat. Ada gejolak dalam dadanya yang ingin ia sampaikan pada semesta. Ada rahasia yang ingin ia ungkapkan, namun bahkan untuk mengatakan satu katapun, entah kenapa terasa begitu sulit.

"Lo gak tau apa-apa Ka. Lo gak ngerti apa yang gue rasain. Jadi jangan pernah nilai gue, hanya karena gue bilang gue jalan sama Ayah dan Bunda yang kenyataannya sama sekali gk pernah gue lakuin." Batin Shaka dengan emosi yang perlahan membakar hingga ke matanya, rasanya panas. Air matanya rasanya ingin keluar, tapi sekuat tenang ia menahan agar liquid bening itu tak jatuh, dan membuat  semesta tahu kalau dia hanya sosok lemah dan rapuh yang tengah membutuhkan rengkuhan hangat untuk menenangkan.

"Ya ampun Shaka! Gue cariin lo dari tadi, ternyata di sini. Nama lo udah di panggil berkali-kali tuh, jadi juara umum satu lagi. Hebat, congrats ya bro." Shaka menoleh sekilas ke belakangnya dan menemukan presensi temannya yang tengah tersenyum tulus itu.

"Thanks" Balas Shaka seadanya, kemudian membawa langkahnya kembali menuju aula yang diikuti oleh Radit setelahnya.

∴━━━In the Middle━━━∴

Shaka baru tiba di rumah sekitar pukul satu siang. Walau acaranya sudah berlalu sedari jam sebelas tadi, Shaka memilih untuk membantu beberapa guru, kemudian pergi ke tempatnya biasa untuk menenangkan pikiran sebelum akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang