Bau obat-obatan khas di ruangan serba putih itu menjadi hal pertama yang paling menusuk di indra penciumannya.
Cowok berkulit putih pucat itu berusaha menormalkan pandangannya yang masih buram. Hingga saat ia merasa seseorang memekiki kegirangan, saat itu pula cowok itu sadar, ia tidak kemana-mana, ia masih di sini dan memilih menetap.
"Eh, SHAKA? OM OM DOKTER, INI SHAKA NYA SADAR, OM!!" Pekikan dari seseorang itu membuat Shaka—cowok— itu mengernyit bingung. Shaka jelas kenal betul suara itu, tapi kenapa orang itu ada di sini?
"L-lo berdua gimana bisa ada di sini?" Tanya Shaka dengan suara seraknya. Salah satu dari dua orang itu berdecak kesal.
"Masih untung di temenin, lo ini bangun-bangun memang minta di sleding. Udahlah lo diam aja dulu, tunggu Om Adrian meriksa lo." Itu Ragil yang menjawab. Shaka hanya diam dan menuruti. Hingga suara pintu yang berderit, membuat Shaka mengalihkan tatapannya.
Adrian berjalan mendekati ranjang pesakitan Shaka, lalu memeriksa keadaan cowok itu. Adrian tersenyum hangat.
"Bagus, keadaan kamu udah cukup stabil. Tapi, apa ada yang sakit?" Shaka mengangguk kecil.
"Kepala gue sakit, tapi gak terlalu kayak gimana. Btw, maksih bang udah nolongin gue." Ya setidaknya Shaka memang tak sekaku itu jika berhadapan dengan dokter Adrian.
"Santai aja, udah tugas saya. Lagian kamu juga kenapa bawa motornya ngebut kayak gitu, udah tahu hujan-hujanan." Shaka kembali memalingkan wajahnya, enggan menjawab pertanyaan dokter 34 tahun itu.
"Adoh, banyak nyamuk di sini." Celetuk Ragil yang dibalas jitakan mulus yang mendarat di dahinya dari sepupunya.
"Heh, bocah kamu diam saja." Suara berat Adrian terdengar mengisi ruang inap Shaka, Radit yang mendengar itu hanya tertawa ngakak, apalagi melihat ekspresi Om nya yang kayak minta di nistain. Sedangkan Shaka masih diam dan kembali bertengkar dengan pikiran-pikirannya.
"Tanggal berapa?"
"Hah?!"
"Tanggal berapa hari ini?"
"Ck, lo mau nanya lo tidur berapa hari? Nih gue kasih tau, lo itu tidur hampir seminggu, ya kurang lebih enam hari. Dan ini hari ketiga gue sama Radit jengukin lo ke sini. Kalau lo nanya soal kenapa kita ada di sini, itu karna ada Om Adrian, Om Adrian itu om kita. Paham lo? Kenapa gengsian amat buat nanya sih." Jawaban kesal dari Ragil benar-benar membuat Radit ingin menenggelamkan sepupunya itu ke sungai Amazon. Tapi katanya terlalu jauh.
"Eh, iya selama tiga hari itu, kok kita gak ngelihat orang tua kamu?" Tanya Radit. Shaka bungkam.
"Sengaja gak di kasih tau. Udah jangan nanya itu lagi." Ketus Shaka yang di hadiahi pelototan dari Ragil.
"Kalau gak ingat lo sekarat, udah gue tonjok muka lo." Shaka hanya mengangguk saja, kalau di pukul pun dia siap-siap aja, biar bisa langsung nyusul opa katanya.
"ehm, bang ..." Shaka berdehem singkat sebelum memanggil Adrian yang hanya berdiam diri di sisi ranjang pesakitan Shaka.
"Kenapa?"
"Gue pulang hari ini ya?"
Tak!
"Ck, gue baru sadar kenapa main jitak. Kompak bener pula?!"
"Sadar diri baru sadar kan? Yaudah jangan banyak tingkah. Lo hampir mati kalau lo lupa. Sampe bikin Om Adrian galau 7 keliling." Tegas Radit yang entah kenapa membuat Shaka langsung bungkam.
"Hah, serah deh. Tapi besok gue pulang, ada ataupun gak ada persetujuan dari lo semua." Final, Shaka berucap. Kemudian cowok itu kembali menutup matanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝑀𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑 ✓
Ficção AdolescenteFamily-brothership Ini tentang dia, tentang Shaka. Tentang si tengah dari tiga kembar. Shaka namanya, sosok dingin, irit ngomong dan sering di juluki sebagai papan tripleks oleh Rafka, kembarannya yang punya selisih satu jam lebih adik darinya. B...